Rabu, 31 Agustus 2011

Tentang Konsep Pembangunan 8


PARADIGMA ALTERNATIF PEMBANGUNAN BAGI PENGENTASAN KEMISKINAN

Andi Agustang 

8.  PARADIGMA PEMBANGUNAN BERWAWASAN LINGKUNGAN (ECO DEVELOPMENT)


Paradigma penting yang terakhir, yaitu suatu kesadaran bahwa kemiskinan dan kemakmuran bisa memiliki dampak negatif terhadap lingkungan telah memacu para pengambil kebijakan dan akademisi untuk memperbaiki orientasi pembangunan dengan mengarahkan-nya pada kelestarian lingkungan. Kerusakan ekologis dalam berbagai bentuk seperti polusi, kerusakan tanah, erosi, pembentukan gurun, pengundulan hutan, pemanasan global, hujan asam, efek rumah kaca, punahnya spesies-spesies liar, polusi laut, gerakan limbah berbahaya (Kojima et. al. (editor), 1995, hal. 6) yang diakibatkan oleh aktifitas-aktifitas manusia baik dalam rangka meraih kemakmuran maupun sekedar mempertahankan kecukupan hidup, telah terjadi dalam skala global. Baik negara terkebelakang maupun negara maju sama-sama memiliki potensi untuk menciptakan degradasi lingkungan.
Pada dasarnya ada tiga aliran pemikiran dalam merespons trend kerusakan ekologis: (1) “Pandangan pesimistis” sebagaimana tercermin dalam tulisan beberap pakar dari Masachusetts Institute of Technology dan Club of Rome berjudul The Limits to Growth memperkirakan bahwa akan terlewati suatu ambang batas dan terjadi kehancuran sistem di planet bumi dalam tempo satu abad jika angka pertumbuhan penduduk dan laju pembangunan berjalan sebagaimana saat ini. Dipercaya bahwa ada tarik ulur antara proteksi lingkungan dengan pertumbuhan ekonomi dan oleh karena itu, pandangan ini mendukung “teori keadaan tetap” (steady–state theory); (2) “Pandangan Optimistis”, yang disuarakan oleh para pakar dari Sussex University, berpendapat bahwa kerusakan bumi tidak akan terjadi dan ambang planet ini tidak akan pernah terlampaui, karena penemuan dan kreatifitas manusia akan tumbuh secara eksoponensial dan manusia memiliki kekuatan yang luar biasa untuk menyesuaikan diri (Jahoda, 1975); dan (3) Pandangan “realistis atau pragmatis”, yang disamping sadar akan pengaruh pertumbuhan dan kemiskinan terhadap ekologi, menyadari bahwa banyak pemerintahan berada di bawah tekanan berat untuk memberikan prioritas pada kebijakan-kebijakan pembangunan yang vital bagi pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan perekonomian yang mengalami depresi, sehingga hanya tersisa sedikit ruang untuk memikirkan lingkungan (Fujisaki, 1995, hal. xxi); oleh karenanya, pandangan ini berpendapat bahwa ada imperatif (baca: kekuatan pemaksa) pertumbuhan untuk meningkatkan standar kehidupan golongan rakyat miskin. Alih-alih memikirkan pembatasan pertumbuhan, apa yang mesti dilakukan manusia adalah memperluas batas pertumbuhan, dengan menciptakan ruang lebih banyak bagi pelaksana upaya-upaya pembangunan.
Paradigma terakhir ini memperkenalkan suatu nilai pembangunan yang dikenal sebagai “pembangunan berkelanjutan”, yakni “pembangunan yang bisa memenuhi kebutuhan saat ini tampa merusak kemampuan generasi-generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Ini merupakan prinsip dasar paradigma ini (McNeil, Winsemius, dan Yakushi, 1997, 1991).
Kahn (1995, hal. 65) menguraikan konsep ini lebih jauh dan menambahkan beberapa dimensi kedalamnya, dengan menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan berusaha untuk mewujudakan pertumbuhan dan keadilan dalam konteks stabilitas sumber daya antar generasi. Mereka memandang pembangunan sebagai pencapaian tujuan-tujuan yang saling terpaut berupa kelestarian sosial, ekonomi dan lingkungan baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Komitmen pemerintah, sektor swasta dan lembaga swadaya masyarakat untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan terlihat dalam KTT Bumi yang diselenggarakan di Rio de Jeneiro pada bulan Juni 1992. Kepedulian umum tentang keanekaragaman hayati, industri hijau, wisata hijau, lebel ramah lingkungan (ecolabelling), hutan sosial, dan sebagainya, mencerminkan orientasi pembangunan baru ini yang dikenal sebagai paradigma pembangunan berwawasan lingkungan atau paradigma environmenttalisme. Strategi pengentasan kemiskinan macam apa yang akan dianut oleh paradigma environmentalisme tergantung pada posisinya di antara pandangan-pandangan alternatif yang dikemukakan di atas.
Pemaparan paradigama-paradigma dalam tulisan sebelumnya sama sekali belum purna. Pengembangannya pun tidak berjalan linier. Suatu paradigma pembangunan yang berlaku pada priode waktu tertentu mungkin tergeser pada waktu lain dan mengalami kebangkitan kembali pada lain priode. Pembangunan berorientasi pertumbuhan dan produksi yang dominan pada 1960-an tergeser pada dasawarsa 1970-an, namun agaknya memperoleh kembali momentumnya pada 1990-an ketika tujuan-tujuan ekonomi pasar dan liberalisasi perdagangan di anut kembali secara umum, tidak hanya oleh negara-negara maju tetapi juga oleh negara-negara sedang berkembang dalam kerangka pembangunannya.
Dalam upaya mentransformasikan keadaan mula-mula sebelum perang yang dicirikan oleh keterbelakangan, kekurangan pangan, rendahnya standar pendidikan, rendahnya produktivitas, jeleknya gizi dan sanitasi, dan sebagainya kepada keadaan ideal, negara-negara sedang berkembang memilih salah satu atau kombinasi dari paradigma yang disebutkan di atas yang dianggap paling sesuai dengan kondisi yang dihadapi negara yang bersangkutan dengan memperhatikan pengalaman sejarah, sistem nilai, ketersediaan sumber daya, konfigurasi politik, dan sebagainya. 
Keberhasilan upaya negara untuk memanfaatkan kondisi asli tergantung pada pilihan paradigma atau kombinasi paradigma yang paling cocok di samping kualitas dan konsistensi penerapannya. Namun, proses penentuan kombinasi paradigma yang paling sesuai bukanlah perkara mudah mengingat tujuan yang akan di raih oleh masing-masing paradigma bisa saling bertolak belakang. Pertumbuhan ekonomi, misalnya, bisa dicapai dengan mengorbankan kelestarian lingkungan; keadilan sosial terealisir dengan menurunnya laju pertumbuhan ekonomi, dan sebagainya. Oleh karena itu, perumusan kebijakan pembangunan yang memasukkan pertimbangan yang seimbang atas nilai-nilai pembangunan yang tampaknya saling berseberangan merupakan tantangan besar bagi para pengambil kebijakan. Disamping itu para pakar dan perencana pembangunan agaknya memiliki banyak perbedaan pendapat tentang paradigma apa yang paling bagus dalam upaya pengentasan kemiskinan, distribusi pendapatan secara adil, dan keberlanjutan pertumbuhan ekonomi. 
Bagian berikutnya yang merupakan lanjutan tulisan ini akan membicarakan strategi pengentasan kemiskinan di Indonesia dalam kerangka kombinasi paradigma-paradigma pembangunan. Suatu analisis diakronik tentang strategi pengentasan kemiskinan atau membuktikan bahwa paradigma-paradigma yang digunakan sama sekali tidak bersifat statis. Berbagai variabel turut mempengaruhi pilihan paradigma-paradigma yang digunakan pada dimensi waktu tertentu dan pada tahap tertentu dalam pembangunan nasional kita selama ini.


Tentang Konsep Pembangunan 7

PARADIGMA ALTERNATIF PEMBANGUNAN 
BAGI PENGENTASAN KEMISKINAN

Andi Agustang 

6. PARADIGMA KETERGANTUNGAN
  
Paradigma ini mengkristal melalui beberapa konferensi regional yang diselenggarakan oleh Komisi Ekonomi Untuk Amerika Latin dan Konferensi para ekonom Amerika Latin di Mexico pada tahun 1965 yang menghasilkan Deklarasi Ekonom Amerika Latin. Para ekonom Amerika Latin mencermati pembangunan di luar kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi. Dengan mengkombinasikan tradisi strukturalis pandangan dunia Amerika Latin yang berakar pada kondisi sosio-ekonomi kawasan itu, dan alur berpikir neo-Marxis, mereka memutuskan untuk menggunakan paradigma ketergantungan atau paradigma Ekonomi Politik sebagai titik acuan dalam upaya-upaya pembangunan.
Paradigma neo-Marxis berbeda dari Marxis Klasik dalam beberapa hal: (i) Marxis Klasik memandang imperialisme dari posisi sentralnya, sementara neo-Marxis memandang dari posisi pinggiran (feriperal)-nya; (ii) analisis kelas Marxis Klasik didasarkan atas pengalaman negara-negara Eropa yang menekankan misi emansipasi proletariat industri, sementara Neo-Marxis memberi perhatian juga pada potensi-potensi revolusioner para petani; (iii) Marxis Klasik menekankan peran deterministik dari kondisi objektif, dan neo-Marxis melihat kemungkinan faktor-faktor subjektif dalam memunculkan revolusi (Foster Caster, 1974).
Para pendukung paradigma ini berpendapat bahwa pembangunan dan keterbelakangan bukan merupakan fenomena yang saling terpisah; melainkan merupakan dua sisi dari proses sosial yang sama, yakni integrasi masyarakat-masyarakat pra-kapitalis menjadi sistem kapitalis dunia melalui kolonisasi dan/atau perdagangan internasional. Hubungan asimetris negara-negara yang dari berbagai tingkat perkembangan mengakibatkan eksploitasi (penjajahan) satu negara oleh negara lain. Melalui proses ini negara-negara kapitalis bisa berkembang, sementara kawasan-kawasan pra-kapitalis menjadi terbelakang. Pembangunan oleh karenanya, dipandang sebagai upaya menghentikan hubungan ketergantungan negara-negara sedang berkembang terhadap negara-negara kapitalis maju. Ini bisa dicapai melalui strategi pemutusan hubungan, artinya, dengan memutus sepenuhnya hubungan mereka dengan negara-negara kapitalis. Mereka percaya bahwa kemiskinan merupakan produk dari struktur sosial yang ada dan hubungan sosial yang eksploitatif dan, oleh karenanya, harus diatasi melalui perubahan struktural.

 7. PARADIGMA DIMENSI MANUSIA
  
Pada tahap lanjut pembangunan, rakyat menjadi sadar bahwa pertumbuhan seringkali harus ditebus dengan dehumanisasi (terkikisnya nilai-nilai kemanusiaan) dalam berbagai manifestasi, seperti marjinalisasi, unidimensi-onalisasi, masifikasi, penindasan, dan sebagainya. Ivan Illich (1973), misalnya mengamati dominasi teknologi atas umat manusia, yang mengubah manusia menjadi pelayan, dan bukannya tuan bagi teknologi. Pendukung lain pemikiran ini, Guerreiro Ramos (1976), mengamati bahwa ada kecenderungan unidimensionalisasi manusia melalui dominasi isolasi pasar atas dimensi-dimensi lain kehidupan manusia sebagai akibat dari pembangunan.
Nilai manusia dalam pembangunan berbasis produksi atau pertumbuhan ini ditentukan oleh sumbangannya bagi produksi. Dengan kata lai, nilai manusia diukur berdasarkan perannya sebagai agen yang bisa memaksimalkan nilai guna (utilitas) atau laba. Kesadaran ini mengilhami para pakar dan pengambil kebijakan untuk memberi penafsiran berbeda tentang pembangunan untuk membalik trend dehumanisasi sebagaimana disebutkan di atas. Suatu paradigma pembangunan baru lahir dan dikenal sebagai paradigma Berdimensi Kemanusiaan atau Pembangunan yang memanusiakan. Ummat manusia menjadi tujuan akhir dari pembangunan.
Konsientisasi (penyadaran) yakni kesadaran tentang pribadi seseorang dan kemampuan untuk melihat secara kritis sistem sosial di mana ia hidup, merupakan salah satu ciri paling asasi pada manusia yang memungkinkannya menciptakan suatu masyarakat yang mampu membuat sejarah (Freire, 1972). Aktualisasi nilai-nilai kemanusiaan, seperti harga diri, dan sebagainya menjadi tujuan mendasar dari pembangunan (Goulet, 1973).
Pengembangan sumber daya manusia yang menghasilkan pemberdayaan golongan miskin dipandang sebagai sarana strategis untuk pengentasan kemiskinan. Paradigma ini tidak selalu berdiri sendiri ataupun terpisah dari paradigma-paradigma lain, dan bisa saling melengkapi dengan paradigma-paradigma pembangunan lainnya. Memang paradigma pembangunan yang memanusiakan menjadi acuan bagi paradigma-paradigma lainnya. Gagasan ini terartikulasikan oleh Misra (1981 hal. 2) dalam pernyataan berikut:
“Pembangunan yang memanusiakan tidak berarti kebencian teknologi modern. Pembangunan ini tidak berarti ruralisasi masyarakat manusia; tidak juga berarti cara-cara sosio teknis dalam pertumbuhan ekonomi, bukan untuk laju pertumbuhan tinggi dengan untuk kepentingan pertumbuhan. Segala sesuatunya absah, sepanjang memungkinkan manusia untuk memegang kendali yang lebih baik atas nasibnya sendiri; sepanjang hal itu tidak memperbudak manusia, menimbulkan perpecahan, membuat manusia kehilangan keseimbangan mental dan kesehatan fisik, dan menciptakan ketidakserasian dalam masyarakat manusia.”

Tentang Konsep Pembangunan 6

PARADIGMA ALTERNATIF PEMBANGUNAN 
BAGI PENGENTASAN KEMISKINAN
Andi Agustang

Tentang Konsep Pembangunan 5

 Lanjutan tulisan terdahulu


Paradigma Alternatif Pembangunan 
Bagi Pengentasan Kemiskinan
Oleh Andi Agustang

2
Paradigma Indikator Sosial: Dengan mengamati bukti empirik pembangunan, kita bisa melihat bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak selalu disertai dengan distribusi pendapatan yang lebih baik dan standar hidup rakyat lebih tinggi. Indikator-indikator makro ekonomi dan statistik sebagaimana digunakan paradigma ini tidak bisa mengungkapkan nasib sebenarnya dari rakyat kebanyakan. Dalam banyak kasus strategi pembangunan berorientasi pertumbuh-an mengakibatkan efek aliran bawah-atas, bukan aliran atas-bawah, di mana simiskin mensubsidi si kaya melalui proses transaksi asimetris. Hal ini menyebabkan tergesernya paradigma pertumbuhan. Suatu paradigma pembangunan baru yang dimaksudkan untuk melengkapi akuntasi ekonomi dengan akuntasi social mulai membayangi paradigma ini. Paradigma pembangunan baru ini dikenal sebagai paradigma Indikator Sosial yang bertujuan untuk memperbaiki kualitas hidup rakyat. Namun, meskipun paradigma ini terlihat mendominasi pemikiran para pakar dan pengambil keputusan pada awal 1970-an, sebenarnya memiliki akar sejarah dalam gagasan suatu tim kecil dalam Sekretariat Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang embrionya bersumber dari Devisi Sosial Departemen Sosial dan Ekonomi. Dalam laporan keduanya tentang situasi sosial dunia (Report on the World Social Situation) pada tahun 1957 (United Nations, 1857. hal. 6) tim ini menekankan bahwa dibutuhkan integrasi secara lebih padu antara tujuan ekonomi dengan tujuan sosial yang belum terwujud dalam banyak masyarakat. Oleh karena itu, penyusunan indikator-indikator pembangunan sosial yang menggantikan ukuran pendapatan per kapita yang tidak lagi memadai dengan menganalisis berbagai komponen yang mewakili nilai-nilai yang berlaku di dunia internasional seperti kesehatan, gizi, pendidikan, perumahan, pengangguran, pendapatan perorangan dan penyusunan indikator-indikator statistiknya, menjadi perhatian utama dari tim ini. Maka, komponen-komponen indikator sosial seperti kesehatan yang lebih baik, gizi yang lebih baik, pendidikan yang lebih baik, dan sebagainya, harus dipandang sebagai kunci-kunci pertumbuhan (Singers, 1965, hal. 6). Paradigma ini berasumsi bahwa kemiskinan merupakan kondisi kesejahteraan yang rendah (kesehatan jelek, gizi jelek, pendidikan jelek, dan sebagainya). Kemiskinan harus dientaskan melalui perbaikan tingkat kesejahteraan golongan miskin. Paradigma ini mengabaikan kenyataan bahwa dalam banyak kasus kemiskinan merupakan hasil dari struktur yang ada dan, oleh karenanya, hanya bisa dikurangi melalui transformasi struktural. Mendefinisikan pembangunan dengan cara seperti ini telah membuat paradigma ini tidak peka terhadap variabel struktural pembangun-an. Akibatnya, alur pemikiran Indikator Sosial dianggap sebagai paradigma yang paling tidak radikal. 

 
3
Paradigma Kebutuhan Dasar: Pada tahun 1975, ILO menyelenggarakan konferensi yang dikenal sebagai Konfe-rensi Ketenagakerjaan Dunia. Konferensi ini menjadi tonggak penting dalam sejarah gagasan pembangunan, karena dalam konferensi inilah suatu gagasan lama mendapatkan momentum, yang memunculkan suatu paradigma baru yang dikenal sebagai paradigma Kebutuhan Dasar. Dalam prosidang Konferensi ini yang diterbitkan tahun 1976 di bawah judul Employment, Growth, and Basic Needs : A One World Problem (ILO, 1976, hal. 7) latar belakang dipentingkannya kebutuhan dasar dinyatakan sebagai berikut:
“….berkebalikan dengan perkiraan sebelumnya, pengalaman dua dasawarsa terakhir telah menunjukkan bahwa pertumbuh-an yang cepat total out-put tidak dengan sendirinya mampu mengurangi kemiskinan dan kesenjangan; dari sisi kemanusiaan tidak lagi bisa diterima dan dari sisi politik tidaklah bertanggungjawab untuk menunggu beberapa generasi sampai hasil-hasil pembangunan pada akhirnya turun hingga mencapai golongan termiskin; … merekomendasikan agar tiap negara menggunakan pendekatan kebutuhan dasar yang bertujuan untuk tercapainya standar kehidupan minimun tertentu sebelum akhir abad ini. Kebutuhan dasar didefinisikan sebagai standar kehidupan minimun yang harus ditetapkan oleh suatu masyarakat bagi golongan termiskin dari masyarakat yang bersangkutan, yang mencakup kebutuhan keluarga akan konsumsi perorangan; pangan sandang, papan ….. dan pekerjaan yang layak bagi setiap orang yang mau bekerja.”
Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, pengaturan perbaikan distribusi batas waktu investasi dan perbaikan distribusi kepemilikan atau hak guna tanah sangat perlu dilaksanakan. Dengan kata lain, pemenuhan kebutuhan dasar bagi golongan miskin melalui penyediaan pekerjaan yang layak dan perbaikan distribusi kepemilikan dipandang sebagai upaya yang strategis dalam pengurangan kemiskinan. Strategi pengentasan kemiskinan dengan demikian harus dimulai dengan mengidentifikasi golongan-golongan yang tidak bisa memenuhi standar kehidupan minimun yang layak, yakni, kebutuhan dasar, dan melakukan intervensi di dalamnya dengan menyediakan bagi orang-orang tersebut pekerjaan yang layak dan distribusi kepemilikan. Namun demikian, dalam kenyataan, pemenuhan kebutuhan konsumsi bagi golongan miskin seringkali mendapat penekanan yang berlebihan, dengan mengabaikan upaya untuk meningkatkan produktivitas mereka serta kapasitas mereka untuk menghasilkan nilai tambah. Dan meskipun paradigma ini menganjurkan derajat perubahan struktural tertentu, namun masih diyakini bahwa pengupayaan pertumbuhan ekonomi merupakan komponen yang tak terpisahkan dalam upaya pemenuhan kebutuhan dasar.


bersambung

Tentang Konsep Pembangunan 4

Paradigma Alternatif Pembangunan 
Bagi Pengentasan Kemiskinan

Oleh Andi Agustang

Tentang Konsep Pembangunan 3

Makna Pembangunan
 Oleh : Andi Agustang

Tentang Konsep Pembangunan 2


Studi Politik Ekonomi
Dalam Permulaan Wacana Development

Oleh: Andi Agustang[1]

Pendahuluan
Gagasan Devlopment pada awalnya adalah merupakan suatu fenomena luar biasa, dimana sebuah gagasan begitu mendominasi dan mempengaruhi pikiran bangsa - bangsa Dunia Ketiga, bahkan secara global. Gagasan 'development' nyaris menjadi 'agama baru'. Development menjanjikan harapan baru untuk memecahkan masalah masalah kemiskinan dan keterbelakangan bagi berjuta juta rakyat di Dunia Ketiga. Istilah 'development' tersebut, kini telah menyebar dan dipergunakan sebagai visi, teori dan proses yang diyakini oleh rakyat dihampir semua negara, khususnya dunia ketiga, dengan diterjemahkan kedalam bahasa dengan menggunakan kata yang sesuai dengan bahasa lokal dimasing masing negara. Dinegara negara Amerika Latin misalnya, kata ini disamakan dengan kata 'dessarollo'. Bahkan di negara yang belum memiliki bahasa nasional seperti di Filipina misalnya, kata yang dipergunakan untuk melokalkan 'development' adalah dalam tiga bahasa daerah utama, yakni 'pang-unlad' untuk bahasa Tagalok, sedang dalam bahasa Ilongo adalah 'pag-uswag', dan dalam bahasa Ilocano menjadi 'progreso'. Di Indenesia, kata 'development' diterjemahkan dengan 'pembangunan'.
Kata 'pembangunan' menjadi wacana yang dominan di Indonesia erat kaitannya dengan munculnya “pemerintahan orde baru”. Selain sebagai semboyan mereka, kata 'pembangunan' juga menjadi nama bagi pemerintahan orde baru, hal itu bisa dilihat bahwa nama kabinet sejak pemerintahan Orde Baru, selalu dikaitkan dengan kata 'pembangunan', meskipun kata 'pembangunan' sesungguhnya telah dikenal dan dipergunakan sejak masa orde lama. Kata pembangunan dalam konteks orde baru, sangat erat kaitannya dengan 'wacana development' yang dikembangkan oleh negara negara Barat.
Uraian berikut mencoba melakukan penyelidikan secara kritis terhadap konsep  'development', yang menjadi sumber dari pemikiran 'pembangunan' di Indoneisa. Oleh karena itu perhatian uraian ini tidaklah mengusahakan tinjauan dari segi bahasa, melainkan mencoba menstudi politik ekonomi dalam permulaan wacana development, dan bagaimana development disebar-serapkan kedunia ketiga, serta hubungannya dengan wacana 'pembangunan' di Indonesia sejak pemerintahan militer Orde baru.
 Tentang Konsep Pembangunan
 Jika dilihat dari pengertian dasarnya, tidak ada suatu konsep dalam ilmu ilmu sosial yang serumit dan tidak jelas seperti kata tersebut. Istilah 'pembangunan' dipakai dalam bermacam macam kontek, dan seringkali dipergunakan dalam konotasi pilitik dan ideologi tertentu.  Ada banyak kata yang mempunyai makna dengan kata pembangunan, seperti misalnya perubahan sosial, pertumbuhan, kemajuan, modernisasi. Dari kata kata tersebut hanya istilah perubahan sosial yang memberi makna perubahan kerah lebih positif. Oleh karena makna pembangunan bergantung pada kontek siapa yang menggunakannya dan untuk kepentingan apa, maka uraian mengenai pengertian pembangunan akan dilihat dari kontek sejarah bagaimana istilah tersebut dikembangkan.
Jika dilihat dari konteks sejarahnya mengapa dan bagaimana developmentalisme diciptakan, jelas bahwa gagasan tersebut justru dikembangkan dalam rangka membendung pengaruh dan semangat anti Kapitalisme bagi berjuta juta rakyat di Dunia Ketiga. Gagasan development dimulai tahun 1940an, khususnya pada tanggal 20 Januari 1949, yakni pada saat President Amerika Harry S.Truman mengumumkan kebijakan pemerintahnya, maka istilah development dan  "underdevelopment" resmi menjadi bahasa dan doktrim kebijakan luar negeri Amerika Serikat.  Selain lebih dimaksud untuk memberi jawaban atas penolakan bangsa Dunia Ketiga yang baru merdeka atas kapitalisme, juga sebagai jawaban ideologi terhadap meningkatnya daya tarik rakyat Dunia Ketiga terhadap keberhasilan Uni Sovyet sebagai kekuatan baru. Oleh karena itu jelas bahwa gagasan development mulanya dilontarkan dalam kerangka 'perang dingin' yakni suatu kebijakan untuk membendung Sosialisme di Dunia Ketiga. Tidaklah mengherankan jika banyak para penganalisa menempatkan bahwa gagasan development pada dasarnya adalah merupakan bungkus baru dari kapitalisme.[2]
Penyebaran Pikiran Development Pada Dunia Ketiga
 Bagaimana pikiran development (Kapitalisme) tersebut disebar luaskan kedunia ketiga?.  Para pakar ilmu ilmu sosial pada tahun 1950 an dan 1960 an, memainkan peran diskursive yang penting.  Mereka yang berafiliasi pada the Center for International Studies di Massachusetts Institute of Technology (MIT) pada saat itu membantu membangun akademik wacana tentang development.[3]  Dalam tahun 1968, para pakar ilmu ilmu sosial Amerika menjadi terlibat secara mendalam dalam mempengaruhi kebijakan Amerika untuk globalisasi wacana tentang development dan modernisasi.  Para pakar ilmu- ilmu sosial yang diminta oleh pemerintah Truman untuk mengembangkan  suatu "Conference on the implementation of Title IX of the Foreign Assistance Act of 1961." dimana tugas utama mereka melakukan studi tentang bagaimana kebijakan untuk melahirkan the Foreign Assistance Act of 1966, dimana dominasi interpetasi ilmuan liberal terhadap konsep Development. (Millikan and Pye: 1968 dan Gendzier,I. 1985: p.69-74)). Itulah masa dimana mereka sangat produktif dalam menciptakan pengetahuan dan teori development dan modernisasi. Ekonom seperti Rostow menemukan "Growth theory."nya, dan waktu itu pula McClelland dan Inkeles menemukan teori Modernisasi mereka. Salah satu hasil penting studi mereka adalah bahwa gagasan developnment dan modernisasi harus menjadi pilar utama bagi kebijaksanaan program bantuan dan politik luar negeri Amerika.[4] 
Meskipun teori modernisasi bermacam macam, namun mereka meyakini satu hal yang sama yakni bahwa faktor manusia (bukan struktur dan sistem) menjadi fokus utama perhatian mereka. Pertama, yang menggunakan metafora pertumbuhan yakni tumbuh sebagai organisme. Mereka melihat development sebagai proses evolusi perjalanan dari traditional ke modern. Pikiran ini dapat dijumpai dalam teori pertumbuhan yang sangat terkenal yakni "the five-stage scheme"  yang dikembangkan oleh W.W. Rostow (1960). Asumsinya adalah bahwa semua masyarakat termasuk masayarakat Barat pernah mengalami 'tradisional' dan akhirnya menjadi "modern."  Sikap manusia tradisional disini dianggap sebagai masalah. Seperti pandangan Rostow dan pengikutnya, development akan berjalan secara hampir otomatis melalui akumulasi modal (tabungan dan investasi) dengan tekanan bantuan dan hutang luar negeri.  Dia memfokuskan pada perlunya elite wiraswasta yang menjadi motor proses itu.
Pandangan lain didasarkan studi McClelland, Inkeles and Smith (1961). Berdasar tafsiran McClelland atas Max Weber, jika Etika Protestant menjadi pendorong pertumbuhan di Barat, analog yang sama juga bisa untuk melihat pertumbuhan ekonomi. Apa rahasia pikiran Weber tentang Etika Protestant menurutnya adalah "the need for achievement" (N Ach). Alasan mengapa rakyat Dunia Ketiga terbelakang menurutnya karena rendahnya "Need for Achievement" tersebut. Sekali lagi disini sikap dan budaya manusia yang dianggap sebagai sumber masalah. Dan prototipe dari 'the achieving society' pada dasarnya adalah masyarakat kapitalis.[5] 
Konsep development dan modernisasi yang kemudian serta merta dianut oleh berjuta juta rakyat di Dunia Ketiga tersebut pada dasarnya merupakan refleksi dari paradigma Barat tentang perubahan sosial. Development, diidentikan dengan seperti gerakan langkah demi langkah menuju 'higher modernity.' Yang dimaksud modernitas disini merefleksi pada bentuk perkembangan dan kemajuan teknologi dan ekonomi seperti yang dialami oleh negara negara industri. Konsep ini mempunyai akar sejarah dan intektualitas perubahan sosial yang diasosiasikan dengan revolusi industri di Eropa.  Interpretasi konsep development disebagian besar Dunia Ketiga dipahami melulu sebagai 'general improvement in the standard of living'.
Sebentar saja, gagasan Development dan modernisasi menjadi program massif.  Selain menjadi doktrin politik bantuan luar negeri Amerika baik pada pemerintah Dunia Ketiga maupun LSM, juga serempak hampir di setiap universitas di Barat membuka suatu kajian baru yang dikenal dengan 'Development Studies'.  Melalui Development Studies di Barat ini, proses penyebar serapan kapitalisme dipenjuru dunia dipercepat, yakni melalui teknokrat, intektual dan bahkan aktivist LSM dari Dunia Ketiga yang menjadi pasar utama program studi tersebut. Escobar (1990) menggambarkan proses ekspansi wacana development melalui penciptaan network kelembagaan (seperti lembaga dana internasional, universitas, lembaga riset, badan perencana pembangunan) demi memfungsikan aparat developmentalisme. Dan begitu terkonsolidasi mereka menentukan apa yang harus dibicarakan, dipikirkan, diidamkan, pendek kata semua diarahkan menuju kearah gagasan developmentalisme dan modernisasi. 
Tidak hanya itu, bahkan team ahli ilmu ilmu sosial tersebut mengajukan proposal untuk menggunakan berbagai cara untuk mendeseminasikan ideologi 'development' dan modernisasi tersebut dengan target khusus bangsa dunia Ketiga. Pertama, saran mereka, untuk menggunakan pengaruh Amerika Kebijakan Ekonomi dan Perencanaan.  Mereka tahu bahwa bahwa bantuan Amerika selama ini sangat effective dalam mempengaruhi kebijakan dan perencanaan ekonomi. Kedua, untuk mendidik pemimpin dunia ketiga, baik dalam bentuk training, maupun  perjalanan observasi ke Amerika Serikat. Strategi ini konon diusulkan berdasar pengalaman peran pemimpin mahasiswa dalam menghancurkan pemerintahan nasionalis Indonesia tahun 1966 (Millikan and Pye :136).[6] Saran ketiga, adalah dengan menggunakan sarana agama. Banyak studi agama bahkan mulaui diarahkan pada peran agama dalam development, sehingga perlunya 'sekularisasi' menjadi bahasa resmi pemimpin agama dunia ketiga. Sedangkan yang terakhir, adalah untuk menggunakan fungsi training dan research dari tenaga universitas Amerika yang bekerja diluar negeri atas biaya USAID. (Millikan and Pye,1968. p:165).
Pengetahuan akan Development yang diproduksi oleh negara Barat dan dikrimkan ke rakyat Dunia Ketiga bukanlah pengetahuan neutral, selain syarat dengan ideologi Barat juga terkandung nafsu untuk mengontrol. Melalui wacana development, dunia pertama menetapkan kontrol mereka pada dunia ketiga, dimana dunia ketiga  mula- mula diberi label 'kekurangan' tentang hal hal yang  dapat dipenuhi oleh technology dan keahlian profesional. Dan hubungan inilah menurut Mueler disebut sebagai hubungan imperialisme (Mueller, 1987). Escobar (1984) menggunakan analisa Foucault tentang wacana terhadap pembangunan.[7] Wacana development selanjutnya tidak memberi legitimasi segala bentuk cara dan pengetahuan 'non-positivistic' seperti cara pertanian tradisional digusur oleh green revolution serta menghancurkan segala bentuk sosial formasi yang non-capitalistik. Seperti tradisi "gotong Royong" di Jawa telah diganti oleh hubungan yang kapitalistik. Dan terkahir ide development menghancurkan segala bentuk proses politik dengan apa yang dikenal doktrin modernisasi politik. Itu semua  menujukkan bahwa wacana development merupakan suatu proses pendominasian secara intellektual, politik, ideologi, ekonomi dan budaya.   
Invasi kultural, politik, dan ekonomi development selain didukung pemerintah Amerika Serikat juga didukung oleh lembaga lembaga dana internasional seperti bank Dunia dan IMF.  Hayter (1985) mencatat adanya konsistensi secara ideologi dari Bank Dunia terhadap ideologi development. (Hayter,1985: 111). 'Development aid' sering dikembangkan dalam rangka menjaga status quo. Mereka mengikat negara berkembang pada ekonomi negara kaya. Bagian terbesar dari apa yang disebut aid biasanya digunakan oleh pemerintah Dunia Ketiga untuk melayani loans Bank Dunia. sebagian yang lain dijatahkan oleh pemberi bantuan dalam rangka melicinkan exports serta medukung kepentingan bisnis mereka sendiri yang mereka tanamkan di Dunia Ketiga (Kruijer,1987. p.116).
 Proses Berkembangnya Wacana Development di Indonesia

Demikian wacana development tersebut berkembang, dan dimasing masing negara berkembang wacana tersebut lebih dikembangkan secara mendalam lagi hingga sampai dipedesaan. Di Indonesia, ideologi developmentalisme yang kemudian diterjemahkan dalam pembangunan tersebut dikembangkan melalui mekanisme kontrol ideologi, sosial dan politik yang canggih. Untuk melindungi ideologi pembangunan tersebut, pemerintah menegakkan berbagai pendekatan seperti: pertama, menegakan 'the floating mass policy', yakni suatu kebijakan yang melarang semua organisasi masa pada tingkat desa. kedua, menggeser sistim pemilihan lurah yang dilakukan secara demokratis, dan menggantikannya dengan penempatan seorang militer sebagai kepala desa. Ketiga, memperkokoh organisasi militer sampai tingkat kecamatan, dan menempatkan seorang militer untuk setiap desa (Babinsa). Keempat, menciptakan KUD sebagai satu satunya Koperasi yang diizinkan opersai ditingkat kecamatan, serta terkahir menciptakan pertauran pemerintah desa sejak tahun 1979, untuk menggantikan tradisi 'rembuk desa' dengan lembaga desa yang dikontrol oleh pemerintah (Sasono,1987).
Pembangunan juga dikembangkan melalui pendidikan, baik formal, mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi, maupun non formal seperti dalam kursus- kursus, seminar dan penataran hingga ke khutbah dan pengajian di majlis taklim dan masjid masjid. Program pembangunan dikembangkan dan diselenggarakan baik melalui organisasi besar dalam departemen pemerintah dengan skala besar dan nasional, sampai ditingkat pedesaan yang didukung oleh banyak Lembaga Swadaya Masyarakat dengan skala kecil tingkat lokal. Sehingga bagi rakyat Indonesia, gagasan pembangunan telah diterima tanpa pertanyaan.  Umumnya perdebatan hanya dilakukan dalam tingkat cara, metodologi serta teknik pelaksananya belaka, dan bukan pada level prinsipnya.  Itulah mengapa bisa disimpulkan bahwa 'developmentalisme' dewasa ini sudah diyakini oleh sebagain besar birokrat pemerintahan, akademisi, dan bahkan aktivis LSM di Indonesia sebagai satu satunya jalan menuju masyarakat sejahtera.
Persoalan Mendasar sebagai Penutup
Lantas persoalannya apa?  Letak masalahnya adalah, apakah  ideologi dan teori Development dan modernisasi yang kini menjadi the mainstream teori dan praktek perubahan sosial itu, sejak dalam gagasan dan konsepsi dasarnya terkandung gagasan akan terciptanya dunia yang secara mendasar lebih baik dan lebih adil? Apakah gagasan development' yang diciptakan sebagai bungkus baru dari kapitalisme yang diniatkan dalam rangka membendung pengaruh sosialisme itu mampu menghancurkan struktur ekonomi yang eksploitatif; menyingkirkan proses budaya dan pengetahuan yang dominatif, melenyapkan sistim politik yang represif, melindungi lingkungan, serta melenyapkan dominasi terhadap perempuan, sejak dari konsep dasarnya? Inilah persoalan mendasar kita semua. Karena justru untuk menganalisis dan mengevaluasi sebuah teori kita memerlukan kacamata, dan berbeda kaca mata akan menghasilkan penilaian yang berbeda pula. Kacamata-kacamata yang dipakai untuk melihat dan menganalisa perubahan sosial inilah yang sering disebut paradigma perubahan sosial.


[1] Dosen tetap pada Program Studi Sosiologi FIS UNM Makassar. Ketua Program studi IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial) pada Pascasarjana UNM Makassar. Pengampu matakuliah Teori Perubahan Sosial dan Pembangunan pada program studi Sosiologi S1 FIS, S2 dan S3 Program Pasca Sarjana di UNM makassar. Pendiri dan Ketua Kelompok studi Salangketo Gunungsarian Makassar.
 [2] Gendzier, Irene. Managing Political Change: Social Scientists and the Third World Boulder. Colorado: Westview Press. 1985. Juga Douglas Lummis,” Development Against Democracy" dalam Jurnal Alternatives Vol.16,no.1.1991.
[3] Gendzier, Irene. ibid (1985)
 [4] Walt Whitman Rostow adalah bekas Professor MIT, yang pindah ke Gedung Putih menjadi penasehat Presiden Johnson. Lihat, Gettleman,M.E. and D. Mermelstain. The Great Society Reader. The Failure of American Liberalism. New York: Vintage Book.1967. Uraiannya tentang  Growth Theory, lihat: Rostow, W.S. The Stages of Economic Growth: A Non-Communist Manifesto. New York: Cambridge University Press, 1960. Sedangkan uraian Modernisasi lihat: Inkeles, Charles and Smith, David. Becoming Modern. Massachusetts: Harvard University Press, 1974. Mc Clelland, David.C. The Achieving Society. New York: D.Van Nostrad. 1961.
[5]  Asumsi yang sama juga dianut oleh banyak penganut modernisasi seperti dalam antropologi di Indonesia pikiran Kuncoroningrat, juga dalan paham modernisasi Islam di Indonesia.  Keterbelakangan umat Islam, menurut hemat mereka adalah akibat dari 'ada yang salah dalam teologi yang dianut umat Islam. Mereka menuduh teologi tradisional yang fatalistik, sebagai penyebab masalah. Asumsi itu dianut oleh kaum modernist sejak Muhammad Abduh atau Jamaluddin Afgani sampai kelompok pembaharu saat ini seperti Gerakan Muhammadiayah dan Nurcholish Madjid c.s. Lihat: Dr. Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Jakarta; Bulan Bintang, 1978. serta majalah Ulumul Kuran tahun 1993.
[6] The role of US universities and Indonesian technocrats in in the process economic, political and ideological change and Development in Indonesia in the 1960s had been explored by several researchers. See David Ransom "The Berkeley Mafia" in Ramparts, No.9, (1970).  See Mortimer, Rex.(ed.). Showcase State; TheIllusion of Indonesia's 'Accelerated Modernization' Sydney: Angus and Robertson. 1973. See also Liddle, William. "Modernizing Indonesian Politics" in William Liddle (ed.). Political Participation in Modern Indonesia. Monograph Series No.19. New Heaven: Yale University Souteast Asian Studies. 1973.
[7] Michel Foucault, apa akhir tahun 1960 dan awal 1970 an memnyumbangkan gagasan kritik dalam pikiran bagaimana makna dikonstruksi. Baginya 'knowledge is not something that can exist apart from power relations'. Karyanya dalam wacanas mempunyai implikasi radikal tidak saja pada sisplin ilmu humaniora, seni dan sastra tapi human semua pengetahuan. Escobar (1978) meminjam analisanya untuk menganalisa hubungan dunia pertama dan ketiga melalui development.

Tentang Konsep Pembangunan

Studi Politik Ekonomi Dalam Permulaan Wacana Development

Oleh: Andi Agustang
Ketua Program Studi IPS PPS UNM Makassar

Teori development dan modernisasi yang kini menjadi the mainstream teori dan praktek perubahan sosial di Indonesia, belum  dapat menciptakan dunia yang secara mendasar lebih baik dan lebih adil (Andi Agust)

Tulisan ini mencoba mengurai hasil penyelidikan penulis secara kritis terhadap gagasan 'development', yang menjadi sumber wacana 'pembangunan' di Indoneisa. Karena itu, perhatian uraian bukan dari segi bahasa, melainkan mencoba menstudi politik ekonomi dalam permulaan wacana development, dan bagaimana development disebar-serapkan kedunia ketiga, serta hubungannya dengan wacana 'pembangunan' di Indonesia sejak pemerintahan militer Orde baru.
Developmentalisme jelas dikembangkan dalam rangka membendung pengaruh dan semangat anti Kapitalisme bagi berjuta rakyat di Dunia Ketiga. Gagasan development dimulai tahun 1940an, khususnya pada tanggal 20 Januari 1949 saat President Amerika Harry S.Truman mengumumkan kebijakan pemerintahnya, maka istilah development dan "underdevelopment" resmi menjadi doktrin kebijakan luar negeri AS.  Selain dimaksud memberi jawaban atas penolakan bangsa Dunia Ketiga yang baru merdeka atas kapitalisme, juga sebagai jawaban ideologi terhadap meningkatnya daya tarik rakyat Dunia Ketiga terhadap keberhasilan Uni Sovyet sebagai kekuatan baru ketika itu. Karena itu jelas gagasan development mulanya dilontarkan dalam kerangka 'perang dingin' untuk membendung Sosialisme di Dunia Ketiga. Tidaklah mengherankan jika banyak para penganalisa menempatkan gagasan development pada dasarnya merupakan bungkus baru dari kapitalisme.
Bagaimana pikiran development disebar luaskan kedunia ketiga?.  Para pakar ilmu sosial pada tahun 1950 an dan 1960 an, memainkan peran diskursive.  Mereka yang berafiliasi pada the Center for International Studies di Massachusetts Institute of Technology membantu membangun akademik wacana tentang development.  Dalam tahun 1968, para pakar ilmu sosial Amerika terlibat secara mendalam dalam mempengaruhi kebijakan Amerika untuk globalisasi wacana development dan modernisasi.  Pakar ilmu sosial yang diminta oleh Truman untuk melakukan  "Conference on the implementation of Title IX of the Foreign Assistance Act of 1961" dengan tugas utama  melakukan studi bagaimana kebijakan melahirkan the Foreign Assistance Act of 1966, dimana dominasi interpetasi ilmuan liberal terhadap konsep Development. Itulah masa produktif menciptakan pengetahuan dan teori development dan modernisasi. Ekonom Rostow menemukan "Growth theory."nya, dan waktu itu pula McClelland dan Inkeles menemukan teori Modernisasi. Salah satu hasil studi mereka bahwa gagasan development dan modernisasi harus menjadi pilar utama bagi kebijaksanaan program bantuan dan politik luar negeri Amerika. 
Konsep development dan modernisasi kemudian serta merta dianut oleh berjuta rakyat di Dunia Ketiga yang pada dasarnya merupakan refleksi dari paradigma Barat tentang perubahan sosial. Development, diidentikan dengan gerakan menuju 'higher modernity.'. Konsep ini mempunyai akar sejarah dan intektualitas perubahan sosial yang diasosiasikan dengan revolusi industri di Eropa.  Interpretasi konsep development sebagian besar Dunia Ketiga dipahami sebagai 'general improvement in the standard of living'.
Gagasan Development dan modernisasi menjadi program massif.  Selain menjadi doktrin politik bantuan luar negeri Amerika baik pada pemerintah Dunia Ketiga maupun LSM, juga serempak hampir di setiap universitas di Barat membuka suatu kajian baru yang dikenal dengan 'Development Studies' sebagai proses mempercepat penyebar serapan kapitalisme dipenjuru dunia. Tidak hanya itu, bahkan team ahli ilmu sosial tersebut mengajukan proposal untuk menggunakan berbagai cara mendeseminasikan ideologi 'development' dan modernisasi dengan target bangsa dunia Ketiga.
Pengetahuan Development yang diproduksi negara Barat dikrimkan ke rakyat Dunia Ketiga bukanlah pengetahuan netral, selain syarat dengan ideologi Barat juga terkandung nafsu untuk mengontrol. Melalui wacana development, dunia pertama menetapkan kontrol pada dunia ketiga, dimana dunia ketiga diberi label 'kekurangan' tentang hal yang  dapat dipenuhi oleh technology dan keahlian profesional. Dan hubungan inilah menurut Mueler disebut sebagai hubungan imperialisme (Mueller, 1987). Escobar (1984) menggunakan analisa Foucault tentang wacana terhadap pembangunan.   Wacana development selanjutnya tidak memberi legitimasi segala bentuk cara dan pengetahuan 'non-positivistic' seperti cara pertanian tradisional digusur oleh green revolution serta menghancurkan segala bentuk sosial formasi yang non-capitalistik. Seperti tradisi "gotong Royong" telah diganti oleh hubungan yang kapitalistik. Dan terkahir ide development menghancurkan segala bentuk proses politik yang dikenal doktrin modernisasi politik. Itu semua  menujukkan bahwa wacana development merupakan suatu proses pendominasian secara intellektual, politik, ideologi, ekonomi dan budaya. Demikian wacana development tersebut berkembang, dan dimasing masing negara berkembang wacana tersebut lebih dikembangkan secara mendalam lagi hingga sampai dipedesaan termasuk di Indonesia. Sehingga bagi rakyat Indonesia, gagasan pembangunan telah diterima tanpa pertanyaan.  Perdebatan hanya dilakukan dalam tingkat cara, metodologi serta teknik pelaksanaan belaka, dan bukan pada level prinsipnya.  Itulah mengapa bisa disimpulkan bahwa 'developmentalisme' dewasa ini sudah diyakini oleh sebagain besar birokrat pemerintahan, akademisi, dan bahkan aktivis LSM di Indonesia sebagai satu satunya jalan menuju masyarakat sejahtera.
 Lantas persoalannya apa ? Letak masalahnya adalah, apakah ideologi dan teori Development dan modernisasi yang kini menjadi the mainstream teori dan praktek perubahan sosial itu, sejak dalam gagasan dan konsepsi dasarnya terkandung gagasan akan terciptanya dunia yang secara mendasar lebih baik dan lebih adil? Apakah gagasan development' yang diciptakan sebagai bungkus baru dari kapitalisme yang diniatkan dalam rangka membendung pengaruh sosialisme itu mampu menghancurkan struktur ekonomi yang eksploitatif; menyingkirkan proses budaya dan pengetahuan yang dominatif, melenyapkan sistim politik yang represif, melindungi lingkungan, serta melenyapkan dominasi terhadap perempuan, sejak dari konsep dasarnya?  Inilah persoalan mendasar kita semua.

Catatan tentang Metode Penelitian 4


TELAAH KRITIS TENTANG MODEL PENDEKATAN PENELITIAN KUALITATIF DAN KUANTITATIF
Oleh Andi Agustang 

I.     Pendahuluan
Setiap pendekatan dalam penelitian merupakan metode untuk memahami sesuatu, yang dalam ilmu sosial dan humaniora adalah untuk memahami gejala-gejala sosial, gejala kehidupan kita sendiri ataupun orang lain. Pendekatan itu juga adalah upaya untuk mencari, menemukan atau memberi dukungan akan kebenaran yang relatif, yang sebagai suatu model biasanya dikenal sebagai paradigma. Penelitian melalui pendekatan kualitatif dan kuantitatif memberikan dua macam paradigma .
Pendekatan kualitatif menekankan akan pentingnya pemahaman tingkah laku menurut pola berpikir dan bertindak, karena itu paradigma karena penelitiannya sarat oleh muatan alamiah atau naturalistik. Pendekatan kuantitatif dilatarbelakangi oleh pandangan positivisme yang menekankan akan pentingnya mencari fakta dan penyebab dari gejala-gejala sosial dengan kurang memperhatikan tingkah laku subyektif individu. Positivisme ialah pandangan filosofis yang dicirikan oleh suatu evaluasi yang positif dari ilmu dan metoda ilmiah sehingga mempersiapkan suatu rasionalitas baru untuk melaksanakan atau aplikasi ilmu.
Ilmu dan penelitian ini sangat erat sekali kaitannya, keduanya merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan, karena ilmu mempunyai pendekatan yang disebut pendekatan ilmiah. Sedangkan penelitian itu tidak hanya melakukan deskripsi tentang sesuatu, menerangkan, tentang kondisi dasar berbagai peristiwa, menyusun teori dengan cara menyusun kaidah hubungan antar peristiwa atau membuat prediksi-estimasi-proyeksi tentang gejala yang muncul, tetapi juga melakukan tindakan guna mengendalikan peristiwa tersebut.
Jadi salah satu ciri penting dari ilmu pengetahuan ialah adanya pendekatan ilmiah sedangkan pendekatan ilmiah akan diperoleh dengan atau melalui penelitian yang di bangun di atas teori-teori tertentu. Secara eksplisit pernyataan itu mengemukakan bahwa suatu penelitian harus terlebih dahulu memiliki teori, jika tidak ada maka penelitian yang dilakukan tanpa teori dianggap bukanlah sebagai penelitian ilmiah. Memang benar bahwasannya suatu ilmu atau suatu penelitian biasanya dibangun di atas suatu teori tertentu yang secara tegas mengarahkan dan menentukan penelitian itu, tetapi pada sisi lain teori memberikan pembatasan. Bangunan teori tidak selalu dapat mengakomodasikan seluruh keingitahuan peneliti, malahan cenderung akan makin banyak hal yang tidak di ketahuinya.
Dalam ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan, yang pada hakikatnya ingin memahami manusia seutuhnya, manusia sosial yang multidimensional yang perlu diperhatikan dan perlu mendapat tempat dalam kehidupan.
Namun dalam perkembangannya ilmu-ilmu sosial tampak selalu mengalami krisis dan sebagian krisis itu adalah dalam metodologinya, Kritik pada metodologinya yang mendasar berasal dari luar dan dari ilmu itu sendiri
Kritik yang berasal dari luar masyarakat peneliti, seringkali adalah karena seseorang atau institusi berkeinginan untuk dapat menggunakan temuan penelitian dalam mendukung ataupun melegetimasikan minat tertentu yang telah lama menjadi pusat perhatian dan diyakini keterandalannya. Akibat atau engaruh peneliti menunjukkan adanya berbagai akibat dari proses ilmiahnya,yaitu dari akibat yang jarang direncanakan yang cenderung mencampuri upaya situasi peneliti.
Kritik dari dalam lingkungan peneliti dan kelompok ilmu biasanya berasal dari pendebatan mendalam di antara mereka, seperti apa dan bagaimana metoda atau pendekatan penelitian yang dianggap cocok dan tak cocok dengan hakekat masalahnya, terutama berkaitan apakah penelitian itu dapat merealisasikan tujuannya yang berhubungan dengan hakekat realitas sosial. Selain itu juga apakah penelitian itu dapat  dibuat lebih relevan kepada praktek dan pembuatan kebijakan; dan mungkin pula tentang tujuan penelitian yang demikian sederhana, apakah akan menghasilkan derajat pengetahuan tertentu berhubungan dengan politikkeperluan praktis ataukah ilmiah murni?

Pembahasan filsafat penelitian adalah berkaitan dengan bagaimanakah pengaruh positif dan negatif bagi para ilmuan sosial; dari beberapa penelitian sosial tampak ada yang menggunakan prinsip positivis, terutama adopsi pada apa yang berkaitan dengan tuntutan dasar dari ilmu tersebut. Pada saat yang bersamaan juga timbul reaksi terhadap pengaruh positivisme itu pada banyak wilayah ilmu, yang dari waktu ke waktu makin kuat.  

Adapun kritik yang interpretatif dapat menegaskan bahwa metoda ilmu alamiah adalah tak sesuai bagi studi tentang dunia sosial, karena gejala yang diteliti oleh ilmu alamiah, jenisnya itu adalah berbeda dengan gejala yang dipelajari oleh para peneliti sosial

Dalam perbincangan tentang hubungan antara penelitian kualitatif dengan penelitian kuantitatif dengan referensi tertentu pada psikologi, tampak bahwa penelitian eksperimental telah berlangsung lama dan masih dilakukan sebagai metoda penelitian. Hal yang dibahas ialah pandangan bahwa penelitian kualitatif itu adalah didasarkan kepada suatu paradigmaepistemologi terhadap penelitian kuantitatif, kemudian menyangkal pendapat tersebut tetapi menolak untuk memperlakukan bahwasannya perbedaan antara keduanya itu hanyalah sebagai hal yang teknikal yang berkaitan dengan metoda manakah yang sangat sesuai bagi masalah yang dikaji. Para peneliti kualitatif menekankan kepada pengungkapan, atau pembentukan teori (generating theory), dan meninjau lebih mendalam pada salah satu pendekatan yang paling berpengaruh bagi teorisasi yang membumi ( grounded theorizing ), karena itu perlu mempertimbangkan kriteria yang seharusnya digunakan untuk menguji penelitian kualitatif dan bagaimana berbeda dari karakteristik tradisi kuantitatif.

Perlu dikemukakan bahwa penilaian seorang ilmuawan bukab hanya terletak pada kemampuan berpikirnya belaka, tetapi seharusnya termasuk ada kedewasaan sikap tindakan. Kedewasaan sikap dan tindakan itu terbentuk melalui berfikir ilmiah dalam proses kehidupan seseorang. Filsafat ilmu penbetahuan dapat dikatakan sebagai ilmu tentang ilmu, artinya filsafat penelitian bertujuan untuk membahas hakekat penelitian dilihat dari apa penelitian penelitian itu (ontologi), bagaimana penelitian itu dilakukan (epistimologi) dan untuk apa penelitian itu dilakukan (aksiologi). Filsafat penelitian merupakan perumusan pandangan ilmuwan yang konsisten dan didasarkan kepada teori-teori ilmiyah, ekposisindan pradisposisi ilmuwan atau suatu disiplin penelitian yang terdiri dari konsep, teori dan metoda untuk elaksanakan penelitian.

Bersambung ke 3

Catatan tentang Metode Penelitian 3

TELAAH KRITIS TENTANG MODEL PENDEKATAN PENELITIAN KUALITATIF DAN KUANTITATIF
Oleh Andi Agustang 

II.  Konsep Dasar Penelitian Kualitatif

          Istilah penelitian kualitatif menurut Kirk dan Miller (1986;9) pada mulanya bersumber pada pengamatan kuantitatif yang dipertentangkan dengan pengamatan kuantitatif. Pengamatan kuantitatif melibatkan pengukuran tingkat suatu ciri tertentu. Untuk menemukan sesuatu dalam pengamatan, pengamatan harus mengetahui apa yang menjadi ciri sesuatu itu, untuk mengamat mulai mencatat atau menghitung dari satu, dua, tiga, dan seterusnya. Berdasarkan pertimbangan demikian, kemudian peneliti menyatakan bahwa penelitian kuantitatif mencakup setiap jenis penilaian yang didasarkan atas perhitungan persentase, rata-rata, ci kuadrat, dan perhitungan statistik lainnya. Dengan kata lain, penelitian kuantitatif melibatkan dari pada “perhitungan” atau “angka” atau “kuatitas”. Di pihak lain “kulitas” menunjuk pada segi “alamiah” yang dipertentangkan dengan “kuantum”atau “jumlah” tersebut atas dasar pertimbangan itulah maka kemudian penelitian kualitatif tampaknya diartikan  sebagai penelitian yang tidak mengadakan perhitunghan.
               
Ada beberapa istilah yang digunakan untuk meneliti kualitatif menurut Bogdan dan Biklen (1982:3), yaitu :

  • Penelitian atau inkuiri naturalistik atau alamiah,
  • Etnografi,
  • Interaksionis simbolik,
  • Perspektif kedalam,
  • Etnometologi,
  • “the Chicago School”
  • fenomenologis,
  • studi kasus,
  • interpretatif,
  • ekologis, dan
  • deskriptif
        Pemakai istilah inkuiri naturalistik atau alamiah pada dasarnya kurang menyetujui penggunaan istilah penelitian kualitataif merupakan istilah yang terlalu disederhanakan, bahkan sering dipertentangkan dengan penelitian kuantitatif. Sebenarnya alasan yang di kemukakan oleh para pengarang buku inkuiri alamiah tersebut hanyalah merupakan alasan pembenaran istilah inkuiri alamiah tersebut hanyalah merupakan alasan pembenaran istila inkuiri alamiah yang digunakan olehmerreka. Dilihat dari sisi lain, pada dasarnya istilah inkuiri alamiah lebih menekankan pada “kealamiahan“ sumber data. Dengan kata lain, alasan yang digunakan oleh mereka sama saja dengan yang digunakan oleh peneliti yang masih taat menggunakan istilah penelitian kualitatif. Dalam bagian ini istilah penelitian kualitatif tetap akan dipertahankan, dan dalam hal-hal tertentu istilah inkuiri atau penelitian alamiah atau naturalistik akan dimanfaatkan juga, terutama pada waktu menjelaskan definisi dan paradigma alamiah.
       Kualitas  atau sifat yang kualitatif itu mengacu pada segi empirik, yaitu kehidupan nyata manusia, termasuk segala apa yang berada di belakang pola sikap dan tindakannya sebagai manusia bio-sosial. Jika mengingat obyek kajian dalam ilmu sosial, terutama sosiologi dan antropologi, maka perhatian manusia juga adalah sasaran pendekatan kualitatif.
    Untuk mengadakan pengkajian selanjutnya terhadap istilah penelitian kualititatif perlu kiranya dikemukakan beberapa definisi sebagai berikut :
  • Pertama, Bogdan dan taylor (1975:5) mendefinisikan “metodologi kualitatif” sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.
  • Menurut mereka, pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistik (utuh). Jadi, dalam hal ini tidak bileh mengislasikan individu atau organisasi kedalam variabel atau hipotesis, tetapi perlu memandangnya sebagai bagian dari suatu keutuhan. 
  • Kirk dan Miller (1986:9) mendefinisikan bahwa penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan pada manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasannya dan dalam peristilahannya.
  • Selanjutnya pengkajian definisi inkuiri alamiah telah diadakan terlebih dahulu oleh Willem dan Rausch (1969) kemudian hasil mereka diulas lagi oleh Guba dan akhirnya disimpulkan atas dasar ulasan tersebut beberapa hal sebagai berikut :
  1. Inkuiri naturalistik selalu adalah suatu taraf;
  2.  Taraf sejauh mana tingkat pengkajian adalah naturalistik merupakan fungsi sesuatu yang dilakukan oleh peneliti;
  3. Yang dilakukan oleh  peneliti berkaitan dengan stimulus variabel-bebas atau kondisi-antiseden yang merupakan dimensi penting sekali;
  4. Dimensi penting lainnya ialah apa yang dilakukan oleh peneliti dalam membatasi rentangan respons dan keluaran sebjek;
  5.  Inkuiri naturalistik tidak mewajibkan peneliti agar terlebih dahulu membentuk konsepsi-konsepsi atau teori-teori tertentu mengenai lapangan perhatian; sebaliknya ia dapat mendekati lapangan perhatiannya dengan pikiran yang murni dan memperkenalkan interpretasi- interpretasinya yang muncul dari dan dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa nyata, bukannya sebaliknya. Walaupun demikian, suatu pendekatan yang secara konseptual kosong tidaklah tepat dan naif; dan
  6.  Istilah naturalistik merupakan istilah yang memodifkasi penelitian atau metode, tetapi tidak memodifikasikan gejala-gejala.
  7.  Kesimpulan tersebut sebagian telah memberikan gambaran tentang adanya kekhasan penelitian kualitatif.
Bersambung ke  2

Catatan tentang Metode Penelitian 2

TELAAH KRITIS TENTANG MODEL PENDEKATAN PENELITIAN KUALITATIF DAN KUANTITATIF
Oleh Andi Agustang

II.   KARAKTERISTIK PENELITIAN     

Penelitian kualitatif memiliki sejumlah ciri yang membedakannya dengan penelitian jenis lainnya. Dari hasil penelaahan kepustakaan ditemukan bahwa Boghan dan biklen (1982-27-30) mengajukan lima buah ciri, sedang Licholn dan Guba (1983) mengulas sepuluh buah ciri penelitian kualitatif. Uraian di bawah ini merupakan hasil pengkajian dan sintesis kedua versi tersebut, yaitu :

1.  Latar Alamiah
     Penelitian kualitatif melakukan penelitian pada latar alamiah atau pada konteks dari suatu keutuhan (entity). Hal ini dilakukan, menurut Licholn dan Guba (1985:39), karena ontologi alamiah menghendaki adanya kenyataan-kenyataan sebagai keutuhan yang tidak dapat dipahami jika dipisahkan dari konteksnya. Menurut mereka hal tersebut didasarkan atas beberapa asumsi :
  • Tindakan pengamatan mempengaruhi apa yang dilihat, karena itu hubungan penelitian harus mengambil tempat pada keutuhan-dalam konteks untuk keperluan pengamatan. 
  • Konteks sangat menetukan dalam menetapkan apakah suatu penemuan mempunyai arti bagi konteks lainnya, yang berarti bahwa suatu fenomena harus diteliti dalam keseluruhan pengaruh lapangan; dan 
  • Sebagian struktur nilai kontestual bersifat determinatif terhadap apa yang akan dicari.
 2.   Manusia Sebagai Instrumen
          Dalam penelitian kualitatif, peneliti sendiri atau dengan bantuan orang lain merupakan alat pengumpul data utama. Hal itu dilakukan karena, jika memanfaatkan alat yang bukan-manusia dan mempersiapkannya terlebih dahulu sebagai lajim digunakan dalam penelitian klasik, maka sangat tidak mungkin untuk mengadakan penyeseuaian terhadap kenyataan-kenyataan  di  lapangan. Hanya manusia sebagai insrumen pulalah yang dapat menilai apakah kehadirannya menjadi faktor pengganggu sehingga apabila terjadi hal yang demikian ia pasti dapat menyadarinya serta dapat mengatasinya.

3.  Metode Kualitatif  
     Penelitian kualitatif menggunakan metode kualitatif. Metode kualitatif ini digunakan karena beberapa pertimbangan, yaitu :
  • Pertama, menyesuaikan metode kualitatif lebih mudah apabila berhadapan dengan kenyataan-ganda;
  •  Kedua, metode ini menyajikan secara langsung hakikat hubungan antara peneliti dan responden; dan
  • Ketiga, metode ini lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama dan terhadap bersama dan terhadap pola-pola nilai yang dihadapi.
4.  Analisis Data Secara Induktif  
        Dengan menggunakan  analisis secara induktif, berarti bahwa pencarian data bukan dimaksudkan untuk membuktikan hipotesis yang telah dirumuskan sebelum penelitian diadakan. Analisis ini lebih merupakan pembentukan abstraksi berdasarkan bagian-bagian yang telah dikumpulkan, kemudian dikelompok-kelompokkan. Jadi penyusunan teori di sini berasal dari bawah ke atas, yaitu dari sejumlah bagian yang banyak data yang dukumpulkan dan yang saling berhubungan.
     Jika peneliti merencanakan untuk menyusun teori, arah penyusunan teori tersebut akan menjadi jelas sesudah data dikumpulkan. Jadi peneliti dalam hal ini menyusun atau membuat gambaran yang makin menjadi jelas sementara data dikumpulkan dan bagian-bagiannya diuji. Dalam hal ini peneliti tidak berasumsi bahwa sudah cukup yang diketahui untuk memahami bagian-bagian penting sebelum mengadakan penelitian.

5.  Deskriptif      
      Data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka. Hal ini disebabkan oleh adanya penerapan metode kualitatif. Selain itu, semua yang dikumpulkan berkemungkinan menjadi kunci terhadap apa yang sudahditeliti.
      Pada penulisan laporan, peneliti menganalisis data yang sangat kaya tersebut dan sejauh mungkin dalam bentuk aslinya. Hal itu hendaknya dilakukan seperti orang merajut sehingga setiao bagian telaah satu demi satu. Pertanyaan dengan kata lain “mengapa” , “alasan apa” dan “bagaimana terjadinya” akan senantiasa dimanfaatkan oleh peneliti.

6.  Lebih Mementingkan Proses daripada Hasil    
         Penelitian kualitatif lebih banyak mementingkan segi “proses” daripada “hasil”. Hal ini disebabkan oleh hubungan bagian-bagian yang sedang diteliti akan jauh lebih jelas apabila diamati dalam proses. Bogdan dan Biklen (1982:29) memberikan contoh seorang peneliti mengamatinya dalam hubungan sehari-hari, kemudian menjelaskan tentang sikap yang diteliti. Dengan kata lain, peranan proses dalam penelitian kualitatif besar sekali.

7.  Adanya “Batas” yang ditentukan oleh “Fokus”  
        Penelitian kualitatif menghendaki ditetapkannya batas dalam penelitiannya atas dasar fokus (identifikasi masalah) yang timbul sebagai masalah dalam penelitian. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut :
  •  Pertama,batas menentukan kenyataan ganda yang kemudian mempertajam fokus 
  • Kedua, penetapan fokus dapat lebih dekat dihubungkan oleh interaksi antara peneliti dan fokus.  Dapat lebih dekat di hubungkan oleh interaksi antara peneliti dan fokus. Dengan kata lain, bagaimana pun, penetapan fokus sebagai masalah penelitian artinya dalam usaha menemukan batas penelitian. Dengan hal itu dapatlah peneliti menemukan lokasi penelitian.
8.  Adanya Kriteria Khusus untuk Keabsahan Data
     Penelitian kualitaif meredifinisikan validitas, reliabilitas, dan objektivitas dalam versi lain dibandingkan dengan lazim digunakan dalam penelitian klasik. Menurut Licoln dan Guba (198~:43) hal itu disebabkan hal-hal sebagai berikut :
  • Pertama oleh validitas internal cara lama telah gagal karena hal itu menggunakan isomorfisme antara hasil penelitian dan kenyataan tunggal dimana penelitian dapat dikonvergasikan.
  • Kedua, validitas eksternal gagal karena tidak taat asas dengan aksioma (satu perangkat kepercayaan yang didasarkan atas asumsi-asumsi tertentu yang sudah terbentuk dalam diri peneliti) dasar dari generalisasinya;
  • Ketiga, kriteria reabilitas ggal karena mempersyaratkan stabilitas dan keterlakasnaan secara mutlak dan keduanya tidakmungkin digunakan dalam paradigma yang didasarkan atas desain yang dapat berubah-ubah.
  • Keempat, kriteria objektivitas gagal karena penelitian kuantitatif justru memberi kesempatan interaksi antara peneliti-responden dan peranan nilai.
9.  Desain yang bersifat Sementara /temporal 
      Penelitian kualitatif desain yang secara terus-menerus disesuaikan dengan kenyataan lapangan. Jadi, tidak menggunakan desain yang telah disusun secara ketat dan kaku sehingg tidak dapat diubah lagi. Hal itu disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut :
  • Pertama, tidak dapat dibayangkan sebelumnya tentang kenyataan-kenyataan ganda di lapangan;
  • Kedua, tidak dapat diramalkan sebelumnya apa yang akan berubah karena hal itu akan terjadi dalam interaksi antara peneliti dengan kenyataan;
  •  Ketiga, bermacam sistem nilai terkait berhubungan dengan cara yang tidak dapat diramalkan.
10. Hasil Penelitian Dirundingkan dan Disepakati Bersama 
    Penelitian kualitatif lebih menghendaki agar penelitian agar pengertian dari hasil interprestasi yang diperoleh dirundingkan data dirundingkan dan disepakati oleh manusia yang dijadikan sebagai sumber data. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal , sebagai berikut:
  • Pertama,susunan kenyataan dari merekalah yang akan diangkat oleh peneliti 
  • Kedua, hasil penelitian bergantung pada hakikat dan kualitas hubungan antara pencari dengan yang dicari 
  • Ketiga, konfirmasi hipotesis, kerja akan menjadi lebih baik verifikasinya apabila diketahui dan dikonfirmasikan oleh orang-orang yang ada kaitannya dengan yang diteliti.
Bersambung ke 1