Rabu, 31 Agustus 2011

Tentang Konsep Pembangunan 3

Makna Pembangunan
 Oleh : Andi Agustang




P
roses dekolonisasi menyusul ambruknya kekuasaan kolonial Eropa memunculkan negara-negara kebangsaan baru yang bisa dikatakan mempunyai kemiripan dengan kondisi nasional mula-mula. Keduanya memiliki ciri-ciri yang serupa, seperti kemis-kinan, rendahnya produktivitas, rendahnya derajat kesehatan, rendahnya tingkat pendidikan, rendahnya laju pertumbuhan ekonomi, dan sebagainya. Oleh karena itu, tantangan pertama yang dihadapi oleh negara-negara baru adalah bagaimana mentransfor-masi kondisi mula-mula ke kondisi yang lain, yang lebih baik. Suatu proses kemasyarakatan yang terencana dan terlembaga untuk mengaktualisasi keadaan yang lebih baik, yakni “pembangunan”, segera dilaksanakan. Pembangunan merupakan gagasan yang memberi arah bagi bangsa yang baru muncul dalam perjalanan menembus sejarah pasca perang. Sebagai suatu proses berorientasi tujuan, pembangunan sudah barang tentu merupakan konsep yang tidak bebas nilai. Namun demikian pembangunan tidak sekedar sebagai kegiatan kemasyarakatan yang terencana, melainkan juga suatu persepsi yang mengemas realitas, suatu mitos yang menggairahkan masyarakat, dan suatu fantasi yang bisa memuaskan nafsu manusia  (Sach, 1995, hal.1). Maka dalam priode semenjak Perang Dunia Kedua sudah terlalu banyak model dan paradigma pembangunan yang menyatakan berbagai pandangan filosofis, perspektif sosial yang divergen, strategi, dan resep-resep yang saling bertentangan untuk memodernisasi masyarakat terbelakang (Desai 1972, hal. Vii). Tiap bangsa dalam upaya pembangunannya masing-masing bisa memiliki penafsiran atau pemaknaan yang berbeda tentang pembangunan. Tanpa diasadari, makna tersebut menjadi tergantung budaya dan waktu, yang mencerminkan pengaruh dari pandangan dunia yang berlaku tentang suatu budaya tertentu pada suatu saat. Dengan ungkapan yang umum, pembangunan memper-kaya nilai kultural suatu negara kebangsaan. Dengan demikian, pembangunan lebih dari sekedar fenomena obyektif, ia adalah sebuah konstruk sosial atau mitos sosial dari suatu negara kebangsaan. Sifat subjektif dari konsep pembangunan secara fuguratif digambarkan oleh Misra (1981, hal 7 – 8) sebagai berikut : 
      “Manusia memandang Tuhan menurut citranya sendiri. Dan begitu pula ia memandang pembangunan. Sebagaimana Tuhan memiliki arti berbeda bagi orang yang berbeda, begitu juga makna pembangunan berbeda dari satu orang ke orang lain. Makna pembangunan tergantung pada orang, pada situasi, dan pada waktu”.
Bagi suatu negara, pembangunan mungkin berarti  “.. standar kehidupan yang lebih tinggi; kenaikan pendapatan per kapita; kenaikan kapasitas produksi; penguasaan atas sumber alam; kebebasan untuk melakukan kontrol terhadap lingkungan; pertumbuhan ekonomi; pertumbuhan berasas pemerataan; pengentasan kemiskinan; pemenuhan kebu-tuhan pokok; mengejar negara-negara maju dalam hal teknologi, kemakmuran, status, atau kekuasaan; kemandirian ekonomi; ketahanan diri; swasembada untuk semua kebutuhan; kebebasan; harkat kemanusiaan..” (Arndt, 1987, hal. 1) atau kombinasi dari itu semua.
Dengan demikian ada berbagai macam makna tentang pembangunan dan ini merupakan alasan mengapa tidak mudah untuk mengukur keberhasilan atau kegagalan kinerja pembangunan suatu negara. Namun, sebagaimana konsep tentang Tuhan. Konsep tentang pembangunan juga mengatasi spesifi-tas semacam itu. Ada sesuatu yang bersifat universal tentang pembangunan; dan universa-litas inilah saat ini muncul sebagi arus utama pemikiran pembangunan. Diantara nilai-nilai pembangunan universal ini adalah pertumbuh-an ekonomi yang cepat dan berkelanjutan, penurunan kesenjangan pendapatan, pengu-rangan kemiskinan, kelestarian lingkungan dan sebagainya. Namun, di antara nilai-nilai pembangunan ini, pengentasan kemiskinan merupakan fokus perhatian global yang paling penting, sebagaimana dibuktikan dengan dimasukkannya masalah ini dalam Konferensi Tingkat Tinggi dan juga dalam Deklarasi PBB. Pada KTT Bumi di Rio Janeirio bulan juni tahun 1992 misalnya, diakui bahwa ling-kungan manusia tidak bisa lestari dengan adanya kemiskinan masal yang terus berlanjut tanpa sumber daya selain yang bisa mereka ambil dari sediaan alam sekitar mereka yang sangat terbatas. Pada konferensi PBB tahun 1994 tentang kependudukan di Kairo disadari bahwa solusi bagi masalah kependudukan menghadapi tantangan berat karena kemiskin-an. Pada KTT Dunia tentang Pembangunan Sosial pada tahun 1995 di Conpenhagen, kemiskinan bersama kembarnya kesenjangan sosial, diidentifikasi sebagai isu sentral selama beberapa dasawarsa ke depan. Dan pada Konferensi Dunia Keempat PBB tentang Wanita di Beijing bulan September tahun 1995, isu kemiskinan bernuansa jender menjadi salah satu agenda terpenting. Kesemuanya ini menghasilkan momentum bagi gerakan pengentasan kemiskinan global yang dimulai dengan deklarasi PBB, yang menunjuk tahun 1997 – 2006 sebagai “Dasawarsa Pertama PBB untuk Pengentasan Kemiskinan.” (International Social Science Journal, Juni 1996). 
Indonesia, sebagaimana negara-negara sedang berkembang lainnya, juga menghadapi dilema antara mengejar pertumbuhan ekonomi sebagai orientasi utama pembangunannya, atau memberi penekanan pada pemerataan sosial dan pengentasan kemiskinan sebagai arus utama (mainstream) pembangunan.  Saling geser antara keduanya bukanlah persoalan mudah. Keberhasilan untuk menciptakan saling dukung antara nilai-nilai pembangunan yang disebutkan di atas, atau untuk mengupayakan keseimbangan yang tepat antar keduanya, mungkin akan menen-tukan keberhasilan atau kegagalan dalam proses pembangunan. Kinerja negara-negara sedang berkembang dalam penyeimbangan kedua nilai pembangunan yang tampaknya saling berseberangan ini sangat bervariasi. Jazairi mengklasifikasikan negara-negara itu sebagai berikut  (Jazairi.,  1992, hal 6).:
  • Negara-negara yang tidak berhasil tumbuh secara ekonomis, gagal mendistribusikan pendapatannya secara merata, dan gagal menurunkan tingkat kemiskinan (misalnya Costarica, Equador, Braazil).
  • Negara-negara yang berhasil mencapai pertumbuhan ekonomi, namun gagal melaksanakan distribusi pendapatan yang merata maupun mengentaskan kemiskinan (misalnya Bostwena, Kamerun, dan Kenya).
  • Negara-negara yang berhasil mempertahan-kan pertumbuhan ekonomi, mendistribusi-kan pendapatan secara merata, dan mengentaskan kemiskinan (misalnya Korea Selatan, Pakistan dan Indonesia).
            Dengan menggunakan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan (yang diukur dengan pertumbuhan GDB atau pendapatan perkapi-ta), pengentasan kemiskinan sebagai ukuran bagi keberhasilan kinerja dalam pembangunan. Laporan Riset Kebijakan Bank Dunia (World Bank, 1996) menempatkan Indonesia dalam kategori High Performing Asian Economies (HPAES) atau Pelaku Ekonomi Asia Berkinerja Tinggi. Kinerja ini dicapai setelah melalui suatu proses pembangunan bersejarah yang panjang dan penuh rintangan yang terkadang ditengarai oleh trial and error dan dengan ayunan pendulum antara manajemen pembangunan dan liberal bermuka dua.
         Selama dasawarsa pertama setelah proklamasi kemerdekaan, masalah pokok yang dihadapi oleh bangsa Indonsia adalah masalah politik, yakni bagaimana bisa bertahan hidup sebagai suatu bangsa. Perjuangan pisik memperjuangkan kemerdekaan sampai dengan tahun 1950-an, upaya menciptakan supra dan ifrastruktur politik, perjuangan untuk memba-ngun bangsa dan menanamkan
          Pemerintah Orde Baru yang memegang kekuasaan pada tahun 1967 harus menghada-pi warisan ekonomi pemerintah orde lama. Peralihan kekuasaan dari rejim orde lama ke rejim baru menandai lembar baru dalam sejarah politik Indonesia dalam hampir segala hal. Dengan menerapkan kebijakan pemulihan ekonomi, stabilisasi, dan konsolidasi, rejim baru ini meletakkan dasar-dasar yang kuat bagi pembangunan lebih lanjut. Kebijakan ini meliputi upaya – upaya untuk mengendalikan inflasi, menjalin hubungan kembali dengan masyarakat penyandang dana internasional, dan memulihkan infrastruktur fisik.
             Politik dan kebijakan-kebijakan pemba-ngunan selanjutnya terbukti membuahkan hasil. Tahun 1968 menandai dimulainya pemulihan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi mencapai angka 10,9 persen pada tahun tersebut. Selama dasawarsa 1970-an ekonomi nasional tumbuh mendekati 8 persen per tahun, suatu kinerja pertumbuhan yang menempati urutan sepuluh tercepat di dunia. Meskipun goncangan eksternal yang terjadi pada awal dasawarsa 1980-an telah menyebabkan angka pertumbuhan tahunan rata-rata turun hingga 5,3 persen (World Bank, 1994 b, hal .5), selama dasawarsa 1990-an pertumbuhan ekonomi terpatok dan bertahan sekitar 7 persen. GDP per kapita meningkat tajam dari di bawah $ 100 pada awal Rencana Pembangunan Lima Tahun pertama pada akhir 1960-an menjadi $ 650 pada tahun 1990, dan $1.031 pada tahun 1995 (The Economic Intelligence Unit, 1966, hal. 11). Data terbaru menunjukkan bahwa GDP Indonesia per kapita sebesar $ 1.300. Ini mengangkat status Indonesia dari negara berpendapatan rendah menjadi negara berpendapatan menengah. Data terbaru menunjukkan bahwa pada tahun 1996 perekonomian mengalami pertumbuhan  pada laju 7,82 persen (berdasarkan harga tetap 1993), sedikit di bawah pertumbuhan ekonomi tahun 1995 (8,21 persen), namun lebih tinggi daripada target pertumbuhan rata-rata REPELITA VI (7,1 persen). Sementara itu upaya pemerintah untuk mengurangi ketergantungan pada sumber daya minyak dan lebih mengandalkan sumber daya non minyak sebagai bagian integral dari penyesuaian kebijakan untuk mengatasi pengaruh krisis ekonomi global telah mempercepat laju transformasi struktural ekonomi. Sumbangan sektor pertanian terhadap GDB menurun dari sekitar 27 persen pada tahun 1879 menjadi sekitar 17, 2 persen tahun 1995, sementara sumbangan sektor industri meningkat dari sekitar 9 persen menjadi 24,3 persen dalam periode yang sama. Lima sektor tumbuh melampaui laju pertumbuhan ekonomi; utilitas (12,61 persen), konstruksi (12,37 persen), pengolahan (11,63 persen), dunia usaha dan jasa keuangan (10,52 persen), dan komunikasi (8,56 persen). Pertanian dan kehutanan sebaliknya mencatat laju pertumbuhan terendah sebesar 1,89 persen (Tiras, 27 Maret 1997, No. 10/III, The Economic Intelligent Unit, 1996, hal 5). Diversifikasi struktural ekonomi juga bisa dilihat dengan meningkatnya ekspor non-minyak dan anggaran pendapatan non minyak dari satu seperempat dari total ekspor dan anggaran tahun 1980-an, hingga sekitar dua pertiga pada akhir dasawarsa tersebut, sementara sumbangan industri non minyak dalam total GDP hampir dua kali lipat (World Bank, 1994a, hal. A3)
        Kinerja Indonesia dalam pengurangan kemiskinan tidak kurang berhasil. Pada awal 1980-an kemiskinan absolut mulai menurun secara nyata. Baik persentase penduduk yang miskin absolut maupun jumlah absolut penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan turun secara drastis selama dasawarsa itu. Kasus kemiskinan absolut turun secara tajam dari 67 juta orang atau sekitar 60 persen pada tahun 1970 menjadi 27,7 juta atau sekitar 15,08 persen tahun 1980 dan menurun lagi menjadi 25,9 juta atau 13,67 persen tahun 1993. Pada tahun 1996, mereka yang hidup dibawah garis kemiskinan menurun sekali lagi menjadi 22,5 juta atau 11,3 persen. Sebanyak 7,2 juta dari 22,5 juta orang yang hidup dibawah garis kemiskinan tinggal di daerah perkotaan, sementara 15,3 juta hidup di kawasan pedesaan (Tiras, 27 Maret 1997, No.10/III hal 12-13). Dimensi pemerataan hasil-hasil pembangunan bisa dilihat dari meningkatnya proporsi belanja perorangan oleh 20 % penduduk termiskin, dari 6,9 % tahun 1970 menjadi 8,9 % tahun 1990 (World Bank,1994. hal. 5).
Karena pembangunan melibatkan penggunaan sumber-sumber daya terbatas untuk mencapai berbagai nila, baik yang saling mendukung ataupun saling bertentangan, pembangunan tak pelak akan terpengaruh oleh hubungan kekuasaan di antara berbagai aktor pembangunan politik dan ekonomi seperti pengambil kebijakan, birokrat, kekuatan pasar, koperasi, kelompok-kelompok sasaran, dan sebagainya. Dinamika saling geser menggeser dan pertukaran di antara aktor-aktor sering kali terjadi melalui hubungan kekuasaan simetris  maupun asimetris. Hal semacam itu mencerminkan sifat politik pengentasan kemiskinan dalam suatu negara yang pada akhirnya mempengaruhi sifat kinerja pemba-ngunan. Dengan demikian, pembangunan tidak hanya melibatkan kebijakan tetapi juga politik. Siapa yang mendapat, berapa banyak, pengaruh yang ditimbulkan oleh hubungan kekuasaan di antara aktor-aktor pembangunan politik ekonomi. Tulisan ini akan difokuskan pada pengkajian dan analisis tentang kinerja pembangunan Indonesia.




         

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.