Rabu, 31 Agustus 2011

Tentang Konsep Pembangunan 4

Paradigma Alternatif Pembangunan 
Bagi Pengentasan Kemiskinan

Oleh Andi Agustang

S
ebagaimana ditunjukkan dalam tulisan terdahulu tentang Makna Pembangunan, maka pembangunan bisa didefinisikan sebagai suatu perubahan masyarakat yang dilakukan secara sadar, terlembaga dan terencana, untuk mentransformasi suatu keadaan menuju keadaan lain yang lebih bernilai. Pembangunan merupakan kegiatan yang berorientasi tujuan, dan oleh karenanya tidak bebas nilai. Meskipun ada kesamaan dalam hal “keadaan awal” negara-negara sedang berkembang, proses pembangunan mungkin sekali berbeda dari satu nagara ke negara lain. Ini disebabkan tiap-tiap negara bisa menggunakan paradigma pembangunan yang berbeda yang menggaris-kan strategi dalam mengentaskan kemiskinan dan distribusi pendapatan. Tulisan ini akan dimulai dengan pembahasan teoritis tentang paradigma-paradigma pembangunan alternatif yang masing-masing bisa digunakan oleh suatu negara sebagai titik acuan dalam proses pembangunan yang di dalam kerangka itu bisa dilaksanakan perogram pengurangan kemiskinan. Namun perlu dicatat bahwa kombinasi dari paradigma-paradigma pembangunan ini bisa juga digunakan secara simultan oleh suatu negara dalam kegiatan pembangunannya.

1

Paradigma Pertumbuhan: Dari perspektif diakronis, kita bisa melacak pokok-pokok penafsiran tentang pembangunan yang dominan pada priode tertentu. Pada tahap awal periode pasca perang, paradigma pertumbuhan mendominasi pemikiran para pakar dan perencana pembangunan. Di bawah pengaruh para pakar seperti Rosenstein-Rodan, Harrod-Domar, Nurkse, Rostow, Kuznets, Prebisch, Singer, Lewis, Hirdal, Hirschman, dan lain-lain, pembangunan cenderung dimaknai secara sempit yang identik dengan pertumbuhan ekonomi. Esensi Pembangunan adalah pertumbuhan output dan pendapatan per kepala. Meir (1984). Misalnya, menyamakan pembangunan dengan pertumbuhan riil pendapatan per kapita. Sementara itu Rostow (1960) memandang masalah pembangunan semata-mata berupa bagaimana mentransformasi masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern melalui suatu proses pertumbuhan yang unilinier, yang berarti bahwa tiap negara diharapkan mengikuti alur pembangunan yang sama tanpa perlu memperhatikan kondisi mula-mula negara yang bersangkutan, seperti latar belakang sejarah, struktur sosial, ketersediaan sumber daya, orientasi politik, dan sebagainya. Kinerja pembangunan oleh karenanya diukur dari indikator-indikator makro ekonomi seperti pertumbuhan Pendapatan Domestik Bruto atau pertumbuhan pendapatan riil per kapita. Laju pertumbuhan ekonomi dipengaruhi terutama oleh determinan-determinan ekonomi, berupa rasio tabungan, yakni proporsi pendapatan nasional yang tidak digunakan oleh masyarakat dan rasio modal output yang mencerminkan tingkat efisiensi ekonomi nasional. Tugas utama pemerintah dalam pembangunan adalah meningkatkan dan memacu pertumbuhan ekonomi dengan meningkatkan rasio tabungan dan menurunkan rasio modal-output. Dengan defenisi semacam itu, bisa dipahami bahwa keadilan sosial dan pengentasan kemiskinan menduduki prioritas kedua bagi paradigma pembangunan yang berorientasi pertumbuhan. Ketidak merataan dipandang sebagai suatu kemestian sosial karena memungkinkan akumulasi kekayaan atau modal pada beberapa gelintir anggota masyarakat yang memungkinkan mereka berinvestasi dalam aktivitas-aktivitas produktif. Ini selanjutnya akan menciptakan landasan produktif bagi pertum-buhan ekonomi. Pengentasan kemsikinan dipandang sekedar hasil samping dari pertumbuhan ekonomi melalui efek dari bawah ke atas (trickle down effect). Dalam membela tesis ini, salah seorang pelopornya, Simon Kuznets berpendapat bahwa laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi disertai distribusi pendapatan yang lebih baik hanya akan terjadi setelah priode peningkatan tingkat pertum-buhan ekonomi yang disertai dengan distribusi pendapatan yang jelek. Tesis ini dikenal sebagai kurva U terbalik dari Simon Kuznets. Paradigma pembangunan inilah yang mendominasi pemikiran para pakar dan pengambil kebijakan selama Dekade Pertama Perkemba-ngan Perserikatan Bangsa-Bangsa di tahun enam puluhan 
          Meskipun para pakar pasca perang memiliki persepsi umum tentang pertumbuhan ekonomi sebagai akhir tujuan pembangunan, terdapat berbagai macam gagasan tentang cara-cara untuk mencapainya. Pandangan pertama: menempatkan tekanan pada pembentukan modal sebagai sarana terpenting untuk mencapai pertumbuhan ekonomi. Nurkse (1962) dan Lewis (1955) misalnya, menyatakan bahwa pembentukan modal merupakan pokok persoalan pembangunan yang membedakan negara sedang berkembang dengan negara maju. Meningkatkan kapasitas negara-negara sedang berkembang untuk mengalihkan sebagian dari sumber daya yang tersedia untuk kepentingan peningkatan cadangan modal guna menjamin peningkatan output yang bisa dikonsumsi di masa datang, dan menurunkan Rasio Kenaikan Modal Output (ICOR) menjadi fokus utama para perencana pembangunan. Inilah alasan kenapa pemerintah di negara-negara yang kurang maju cenderung memilih kebijakan intervensionis. Pandangan kedua: mengaitkan sarana-sarana strategis pertumbuhan ekonomi dengan modal manusia. Ini didorong oleh penemuan beberapa studi empiris yang menyimpulkan bahwa proporsi kenaikan GNP yang bisa diakibatkan dengan input modal dan tenaga kerja yang bisa diukur adalah jauh lebih kecil daripada yang diperkirakan sebelumnya. Sumbangan input modal dan tenaga kerja hanya menghasilkan 10 hingga 20 persen dari pertumbuhan total output (Kenndy & Thirwall, 1973), sehingga penjelasan tentang pertumbuhan ekonomi di antara berbagai negara harus dilihat pada faktor residu (Vaizey et.al. sebagai mana dikutip dalam Arndt, 1967, hal 61). Para pakar dan perencana pembangunan mengidentifikasi modal manusia sebagai faktor residu. Investasi pada modal manusia akan memiliki pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan ekonomi (Schultz, 1959, 1961, Becker, 1960, 1964). Bergesernya penekanan tercermin dalam kecenderungan negara-negara donor untuk memfokuskan diri pada bantuan teknis (investasi dalam bidang pendidikan; perencanaan tenaga kerja) dan bukan pada bantuan modal. Pandangan ketiga sehubungan dengan sarana dan tujuan pembangunan berfokus pada perdagangan sebagai mesin pertumbuhan. Momentum ini dipicu oleh resolusi 1707 Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada bulan Desember 1961 yang bertajuk “Perdagangan Internasional sebagai Instrumen Pokok untuk Pembangunan Ekonomi”. Resolusi ini tampaknya mampu menggeser gagasan-gagasan yang semula dominan dan cenderung menganggap perdagangan internasional sebagai hambatan pembangunan. Nurkse (1962, hal. 242) misalnya, berpendapat bahwa ekspansi besar-besar negara-negara industri yang meningkatkan permintaannya akan bahan mentah dan bahan pangan dari negara-negara yang kurang maju yang memberikan kekuatan bagi negara-negara itu untuk berkembang, tidak bisa diharapkan bisa berfungsi sebagai mesin pertumbuhan bagi negara-negara terbelakang. Jauh dari fungsinya sebagai mesin pertumbuhan ekonomi, perdagangan internasi-onal justru bertanggung jawab atas terhambat-nya pembangunan. Ini disebabkan oleh mekanisme harga monopolistic yang dikuasai oleh pihak pabrikan, tidak elastisnya permintaan dunia akan produk-produk primer, terlanggarnya jangka perdagangan untuk produk primer, fluktuasi harga yang berlebihan, dan sebagainya. Singkatnya, gagasan yang dominan sebelum Resolusi 1707 Sidang Umum PBB memandang bahwa simetri, resiprositas, dan saling ketergantungan Nurkse, (1959, hal, 26). Namun tampaknya terjadi trend balik berupa tergesernya tesis anti-perdagangan-internasional yang membenarkan pembangunan berorientasi dunia luar selama dasawarsa terakhir ini. Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan berbagai organisasi regional seperti APEC, EEC, ASEAN, dan sebagainya didirikan atas dasar keyakinan bahwa pertumbuhan ekonomi bisa dipercepat melalui liberalisasi perdagangan internasional. Gagasan baru ini merupakan tantangan bagi pandangan konvensional tentang pengentasan kemiskinan melalui strategi intervensionis.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.