Rabu, 31 Agustus 2011

Tentang Konsep Pembangunan 6

PARADIGMA ALTERNATIF PEMBANGUNAN 
BAGI PENGENTASAN KEMISKINAN
Andi Agustang

4. PARADIGMA NEO-EKONOMI

Paradigma ini menukik lebih tajam dibanding paradigma kebutuhan dasar dalam penafsiran tentang pembangunan. Jika paradigma indikator sosial dan paradigma kebutuhan dasar sekedar berupaya untuk melengkapi akuntansi ekonomi dengan akuntansi sosial atau pemenuhan kebutuhan dasar, paradigma neo-ekonomi memberikan perspektif baru tentang pembangunan ekonomi. Indikator-indikator pertumbuhan agregat seperti GNP atau pendapatan per kapita, menurut neo-ekonomi, tidak bisa mengungkapkan “siapa yang mendapat, berapa banyak, dan apa yang didapat” dari pembangunan?
Paradigma ini agaknya dipicu oleh pernyataan Dudley Seers, Direktur Lembaga Studi Pembangunan pada Sussex University, Inggeris, dalam sambutannya di hadapan Kongres Dunia kesebelas Masyarakat Pembangunan Internasional (SID) di New Delhi bulan November 1969 yang kemudian diterbitkan dengan judul “The Meaning of Development”. Tesis pokoknya adalah bahwa, dengan mengupayakan laju pertumbuhan GNP 5 persen sebagai target Pembangunan Sepuluh Tahun Pertama sebagaimana ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, para pakar dan perencana pembangunan telah salah dalam membaca tantangan paruh kedua abad kedua puluh. Asumsi bahwa kenaikan pendapatan nasional cepat atau lambat akan secara otomatis menghasilkan solusi bagi masalah-masalah sosial dan politik adalah suatu kesalahan.
Tidak hanya pertumbuhan ekonomi sendiri tidak mampu memecahkan masalah sosial dan politik, tipe-tipe pertumbuhan tertentu bahkan bisa menimbulkan masalah. Indikator ekonomi agregat seperti GNP, oleh karenanya, harus ditolak dan digantikan dengan indikator dis-agregat “Apa yang terjadi dengan kemiskinan? Apa yang terjadi dengan pengangguran? Apa yang terjadi dengan kesenjangan? Jika satu atau dua dari persoalan-persoalan pokok ini memburuk, terlebih jika ketiga-tiganya, adalah naïf untuk mengatakan keberhasilan “pembangunan”, meskipun pendapatan perkapita meningkat menjadi dua kali” (Dudley Seers, 1969, hal. 2-3).
Pendukung lain paradigma neo-ekonomi, Mahbub ul Haq (1971, hal. 5 – 7), memberikan pemikiran lebih jauh lagi, dengan menyatakan perlunya perubahan defenisi tentang tujuan pembangunan, tidak sebagai upaya mengejar tingkat pendapatan rata-rata tertentu, melainkan sebagai upaya untuk mengurangi dan pada akhirnya meniadakan kurang gizi, penyakit, buta huruf, kekumuhan, pengangguran, dan kesenjangan. Pelaksanaan pembangun-an yang berorientasi pertumbuhan hanya akan menghasilkan “kesalahan berulang”. Dibutuhkan pembangunan gaya baru, dengan menekankan muatan GNP yang lebih dari sekedar angka kenaikan, dan membalik logika pandangan konvensional tentang pembangunan. Ini tercermin dalam pertanyaan yang terkenal:
“Kita diajar untuk memperhatikan GNP kita karena GNP akan memperbaiki kemiskinan. Mari kita balik, dan beri perhatian pada kemiskinan karena pemulihan kemiskinan akan menghasilkan kenaikan GNP”
 Namun pandangan Dudley Seers dan Mahbub ul haq agaknya memiliki implikasi pada kebijakan Bank Dunia, sebagaimana dinyatakan oleh presidennya, Robert McNamara. Ia mendukung bahwa upaya pembangunan harus diarahkan pada 40 persen lapis bawah dengan tujuan untuk memberantas kemiskinan absolut pada akhir abad ini, dengan meningkatkan produktivitas golongan miskin, yang berarti mengupayakan pembagian yang lebih merata hasil-hasil pertumbuhan (McNamara, 1973 : 1974). Kemiskinan tidak bisa dientaskan melalui efek atas bawah (trickle – down effect) dan strategi karitas (pemberian konsumtif), tetapi harus diatasi melalui serangan langsung terhadap pokok masalah, distribusi langsung aset-aset dan alokasi langsung sumber-sumber daya. Pembangunan harus ditargetkan kepada 50 persen golongan termiskin dari total populasi. Gagasan ini menjadi tema dominan gagasan-gagasan pembangunan dekade 1970-an.


5. PARADIGMA REDISTRIBUSI DENGAN PERTUMBUHAN
  
   Beberapa pakar menunjukkan reaksi paradigma neo-ekonomi. Mereka mengingatkan bahwa gagasan itu memiliki nuansa radikal. Mereka mengingatkan bahwa orang-orang yang termasuk dalam elit pendapatan tinggi akan berusaha mempertahankan privilese (hak-hak istimewa) mereka, dan memilih kerusuhan politik daripada harus kehilangan status mereka. Oleh karena itu, alih-alih menganjurkan kebijakan radikal yang bertujuan mewujudkan perbaikan distribusi cadangan kemakmuran yang ada, mereka menyatakan bahwa sebaiknya diambil kebijakan “distribusi menaik”, untuk mengurangi kemiskinan melalui penciptaan kesempatan kerja produktif dari menaiknya pendapatan (Singer, 1979, hal. 36). Namun, mereka berpendapat bahwa hanya melalui kenaikan nyata GNP akan ada sesuatu yang layak didistribusikan (Chenery et al., 1974, hal. xii). Pertumbuhan GNP masih dipandang sebagai salah satu komponen penting dari pembangunan, yang harus disertai dengan kebijakan yang menjamin bahwa sebagian besar dari pertumbuhan GNP mengenai 40 % lapis terbawah dari populasi. Distribusi harus dijadikan unsur yang sadar dan eksplisit dari kebijakan pembangunan, dan tidak bisa dibiarkan semata-mata sebagai hasil samping pertumbuhan. Mereka mengusulkan agar dilakukan pengalihan (transfer) sebesar 2 persen dari GNP negara-negara maju ke negara-negara yang kurang maju dan pengalihan langsung persentase pendapatan yang sama dari 20 persen penduduk terkaya ke 40 persen penduduk termiskin untuk mencapai tujuan paradigma ini. Ini bisa dilakukan dengan mengenakan pajak kenaikan pendapatan golongan kaya di atas suatu tingkat tertentu dan mendistribusikannya kembali kepada golongan miskin baik melalui fasilitas ekonomi maupun dengan distribusi langsung kebelanja publik. Cara pemikiran ini merupakan prinsip dasar dari apa yang disebut Paradigma Redistribusi dengan Pertumbuhan.
Paradigma Redistribusi dengan Pertumbuhan merupakan hasil dari observasi empirik sekaligus pemikiran teoritis. Para pendukung paradigma ini mengamati bahwa, meskipun ada kenyataan bahwa di banyak negara pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak bisa memperbaiki kesejahteraan golongan miskin, namun dibeberapa negara lain pembagian hasil pertumbuhan yang relatif baik telah meningkatkan kesejahteraan. Perbedaan kinerja ini meletakkan dasar pemikiran bagi para pendukung untuk mengidentifikasi berbagai strategi dan pendekatan untuk meratakan manfaat pertumbuhan ekonomi kepada golongan miskin. Dari sudut pandang teoritis, paradigma ini percaya bahwa pemisahan konseptual antara pertumbuhan optimun dan kebijakan distribusi sebagaimana diyakini oleh ilmu ekonomi konvensional tidaklah relevan dan harus digantikan dengan strategi pembangunan yang memiliki implikasi pertumbuhan bagi semua strata sosial dalam masyarakat (Chenery, 1976, hal. xiii). Tesis dasar dari paradigma ini adalah bahwa tujuan-tujuan distribusi harus menjadi bagian integral dari strategi pembangunan negara-negara kurang maju. Tesis ini memang, mencerminkan penerapan paradigma pertumbuhan dalam suatu perekonomian tersegmentasi, di mana masyarakat dibagi menjadi strata-strata sosial ekonomi, baik berdasarkan aset fisik maupun sumber daya manusia. Melalui pautan pendapatan di antara strata-strata sosial ekonomi, kesejahteraan golongan miskin bisa diperbaiki. 


Bersambung 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.