Rabu, 31 Agustus 2011

Tentang Konsep Pembangunan 7

PARADIGMA ALTERNATIF PEMBANGUNAN 
BAGI PENGENTASAN KEMISKINAN

Andi Agustang 

6. PARADIGMA KETERGANTUNGAN
  
Paradigma ini mengkristal melalui beberapa konferensi regional yang diselenggarakan oleh Komisi Ekonomi Untuk Amerika Latin dan Konferensi para ekonom Amerika Latin di Mexico pada tahun 1965 yang menghasilkan Deklarasi Ekonom Amerika Latin. Para ekonom Amerika Latin mencermati pembangunan di luar kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi. Dengan mengkombinasikan tradisi strukturalis pandangan dunia Amerika Latin yang berakar pada kondisi sosio-ekonomi kawasan itu, dan alur berpikir neo-Marxis, mereka memutuskan untuk menggunakan paradigma ketergantungan atau paradigma Ekonomi Politik sebagai titik acuan dalam upaya-upaya pembangunan.
Paradigma neo-Marxis berbeda dari Marxis Klasik dalam beberapa hal: (i) Marxis Klasik memandang imperialisme dari posisi sentralnya, sementara neo-Marxis memandang dari posisi pinggiran (feriperal)-nya; (ii) analisis kelas Marxis Klasik didasarkan atas pengalaman negara-negara Eropa yang menekankan misi emansipasi proletariat industri, sementara Neo-Marxis memberi perhatian juga pada potensi-potensi revolusioner para petani; (iii) Marxis Klasik menekankan peran deterministik dari kondisi objektif, dan neo-Marxis melihat kemungkinan faktor-faktor subjektif dalam memunculkan revolusi (Foster Caster, 1974).
Para pendukung paradigma ini berpendapat bahwa pembangunan dan keterbelakangan bukan merupakan fenomena yang saling terpisah; melainkan merupakan dua sisi dari proses sosial yang sama, yakni integrasi masyarakat-masyarakat pra-kapitalis menjadi sistem kapitalis dunia melalui kolonisasi dan/atau perdagangan internasional. Hubungan asimetris negara-negara yang dari berbagai tingkat perkembangan mengakibatkan eksploitasi (penjajahan) satu negara oleh negara lain. Melalui proses ini negara-negara kapitalis bisa berkembang, sementara kawasan-kawasan pra-kapitalis menjadi terbelakang. Pembangunan oleh karenanya, dipandang sebagai upaya menghentikan hubungan ketergantungan negara-negara sedang berkembang terhadap negara-negara kapitalis maju. Ini bisa dicapai melalui strategi pemutusan hubungan, artinya, dengan memutus sepenuhnya hubungan mereka dengan negara-negara kapitalis. Mereka percaya bahwa kemiskinan merupakan produk dari struktur sosial yang ada dan hubungan sosial yang eksploitatif dan, oleh karenanya, harus diatasi melalui perubahan struktural.

 7. PARADIGMA DIMENSI MANUSIA
  
Pada tahap lanjut pembangunan, rakyat menjadi sadar bahwa pertumbuhan seringkali harus ditebus dengan dehumanisasi (terkikisnya nilai-nilai kemanusiaan) dalam berbagai manifestasi, seperti marjinalisasi, unidimensi-onalisasi, masifikasi, penindasan, dan sebagainya. Ivan Illich (1973), misalnya mengamati dominasi teknologi atas umat manusia, yang mengubah manusia menjadi pelayan, dan bukannya tuan bagi teknologi. Pendukung lain pemikiran ini, Guerreiro Ramos (1976), mengamati bahwa ada kecenderungan unidimensionalisasi manusia melalui dominasi isolasi pasar atas dimensi-dimensi lain kehidupan manusia sebagai akibat dari pembangunan.
Nilai manusia dalam pembangunan berbasis produksi atau pertumbuhan ini ditentukan oleh sumbangannya bagi produksi. Dengan kata lai, nilai manusia diukur berdasarkan perannya sebagai agen yang bisa memaksimalkan nilai guna (utilitas) atau laba. Kesadaran ini mengilhami para pakar dan pengambil kebijakan untuk memberi penafsiran berbeda tentang pembangunan untuk membalik trend dehumanisasi sebagaimana disebutkan di atas. Suatu paradigma pembangunan baru lahir dan dikenal sebagai paradigma Berdimensi Kemanusiaan atau Pembangunan yang memanusiakan. Ummat manusia menjadi tujuan akhir dari pembangunan.
Konsientisasi (penyadaran) yakni kesadaran tentang pribadi seseorang dan kemampuan untuk melihat secara kritis sistem sosial di mana ia hidup, merupakan salah satu ciri paling asasi pada manusia yang memungkinkannya menciptakan suatu masyarakat yang mampu membuat sejarah (Freire, 1972). Aktualisasi nilai-nilai kemanusiaan, seperti harga diri, dan sebagainya menjadi tujuan mendasar dari pembangunan (Goulet, 1973).
Pengembangan sumber daya manusia yang menghasilkan pemberdayaan golongan miskin dipandang sebagai sarana strategis untuk pengentasan kemiskinan. Paradigma ini tidak selalu berdiri sendiri ataupun terpisah dari paradigma-paradigma lain, dan bisa saling melengkapi dengan paradigma-paradigma pembangunan lainnya. Memang paradigma pembangunan yang memanusiakan menjadi acuan bagi paradigma-paradigma lainnya. Gagasan ini terartikulasikan oleh Misra (1981 hal. 2) dalam pernyataan berikut:
“Pembangunan yang memanusiakan tidak berarti kebencian teknologi modern. Pembangunan ini tidak berarti ruralisasi masyarakat manusia; tidak juga berarti cara-cara sosio teknis dalam pertumbuhan ekonomi, bukan untuk laju pertumbuhan tinggi dengan untuk kepentingan pertumbuhan. Segala sesuatunya absah, sepanjang memungkinkan manusia untuk memegang kendali yang lebih baik atas nasibnya sendiri; sepanjang hal itu tidak memperbudak manusia, menimbulkan perpecahan, membuat manusia kehilangan keseimbangan mental dan kesehatan fisik, dan menciptakan ketidakserasian dalam masyarakat manusia.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.