Rabu, 31 Agustus 2011

Tentang Konsep Pembangunan 8


PARADIGMA ALTERNATIF PEMBANGUNAN BAGI PENGENTASAN KEMISKINAN

Andi Agustang 

8.  PARADIGMA PEMBANGUNAN BERWAWASAN LINGKUNGAN (ECO DEVELOPMENT)


Paradigma penting yang terakhir, yaitu suatu kesadaran bahwa kemiskinan dan kemakmuran bisa memiliki dampak negatif terhadap lingkungan telah memacu para pengambil kebijakan dan akademisi untuk memperbaiki orientasi pembangunan dengan mengarahkan-nya pada kelestarian lingkungan. Kerusakan ekologis dalam berbagai bentuk seperti polusi, kerusakan tanah, erosi, pembentukan gurun, pengundulan hutan, pemanasan global, hujan asam, efek rumah kaca, punahnya spesies-spesies liar, polusi laut, gerakan limbah berbahaya (Kojima et. al. (editor), 1995, hal. 6) yang diakibatkan oleh aktifitas-aktifitas manusia baik dalam rangka meraih kemakmuran maupun sekedar mempertahankan kecukupan hidup, telah terjadi dalam skala global. Baik negara terkebelakang maupun negara maju sama-sama memiliki potensi untuk menciptakan degradasi lingkungan.
Pada dasarnya ada tiga aliran pemikiran dalam merespons trend kerusakan ekologis: (1) “Pandangan pesimistis” sebagaimana tercermin dalam tulisan beberap pakar dari Masachusetts Institute of Technology dan Club of Rome berjudul The Limits to Growth memperkirakan bahwa akan terlewati suatu ambang batas dan terjadi kehancuran sistem di planet bumi dalam tempo satu abad jika angka pertumbuhan penduduk dan laju pembangunan berjalan sebagaimana saat ini. Dipercaya bahwa ada tarik ulur antara proteksi lingkungan dengan pertumbuhan ekonomi dan oleh karena itu, pandangan ini mendukung “teori keadaan tetap” (steady–state theory); (2) “Pandangan Optimistis”, yang disuarakan oleh para pakar dari Sussex University, berpendapat bahwa kerusakan bumi tidak akan terjadi dan ambang planet ini tidak akan pernah terlampaui, karena penemuan dan kreatifitas manusia akan tumbuh secara eksoponensial dan manusia memiliki kekuatan yang luar biasa untuk menyesuaikan diri (Jahoda, 1975); dan (3) Pandangan “realistis atau pragmatis”, yang disamping sadar akan pengaruh pertumbuhan dan kemiskinan terhadap ekologi, menyadari bahwa banyak pemerintahan berada di bawah tekanan berat untuk memberikan prioritas pada kebijakan-kebijakan pembangunan yang vital bagi pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan perekonomian yang mengalami depresi, sehingga hanya tersisa sedikit ruang untuk memikirkan lingkungan (Fujisaki, 1995, hal. xxi); oleh karenanya, pandangan ini berpendapat bahwa ada imperatif (baca: kekuatan pemaksa) pertumbuhan untuk meningkatkan standar kehidupan golongan rakyat miskin. Alih-alih memikirkan pembatasan pertumbuhan, apa yang mesti dilakukan manusia adalah memperluas batas pertumbuhan, dengan menciptakan ruang lebih banyak bagi pelaksana upaya-upaya pembangunan.
Paradigma terakhir ini memperkenalkan suatu nilai pembangunan yang dikenal sebagai “pembangunan berkelanjutan”, yakni “pembangunan yang bisa memenuhi kebutuhan saat ini tampa merusak kemampuan generasi-generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Ini merupakan prinsip dasar paradigma ini (McNeil, Winsemius, dan Yakushi, 1997, 1991).
Kahn (1995, hal. 65) menguraikan konsep ini lebih jauh dan menambahkan beberapa dimensi kedalamnya, dengan menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan berusaha untuk mewujudakan pertumbuhan dan keadilan dalam konteks stabilitas sumber daya antar generasi. Mereka memandang pembangunan sebagai pencapaian tujuan-tujuan yang saling terpaut berupa kelestarian sosial, ekonomi dan lingkungan baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Komitmen pemerintah, sektor swasta dan lembaga swadaya masyarakat untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan terlihat dalam KTT Bumi yang diselenggarakan di Rio de Jeneiro pada bulan Juni 1992. Kepedulian umum tentang keanekaragaman hayati, industri hijau, wisata hijau, lebel ramah lingkungan (ecolabelling), hutan sosial, dan sebagainya, mencerminkan orientasi pembangunan baru ini yang dikenal sebagai paradigma pembangunan berwawasan lingkungan atau paradigma environmenttalisme. Strategi pengentasan kemiskinan macam apa yang akan dianut oleh paradigma environmentalisme tergantung pada posisinya di antara pandangan-pandangan alternatif yang dikemukakan di atas.
Pemaparan paradigama-paradigma dalam tulisan sebelumnya sama sekali belum purna. Pengembangannya pun tidak berjalan linier. Suatu paradigma pembangunan yang berlaku pada priode waktu tertentu mungkin tergeser pada waktu lain dan mengalami kebangkitan kembali pada lain priode. Pembangunan berorientasi pertumbuhan dan produksi yang dominan pada 1960-an tergeser pada dasawarsa 1970-an, namun agaknya memperoleh kembali momentumnya pada 1990-an ketika tujuan-tujuan ekonomi pasar dan liberalisasi perdagangan di anut kembali secara umum, tidak hanya oleh negara-negara maju tetapi juga oleh negara-negara sedang berkembang dalam kerangka pembangunannya.
Dalam upaya mentransformasikan keadaan mula-mula sebelum perang yang dicirikan oleh keterbelakangan, kekurangan pangan, rendahnya standar pendidikan, rendahnya produktivitas, jeleknya gizi dan sanitasi, dan sebagainya kepada keadaan ideal, negara-negara sedang berkembang memilih salah satu atau kombinasi dari paradigma yang disebutkan di atas yang dianggap paling sesuai dengan kondisi yang dihadapi negara yang bersangkutan dengan memperhatikan pengalaman sejarah, sistem nilai, ketersediaan sumber daya, konfigurasi politik, dan sebagainya. 
Keberhasilan upaya negara untuk memanfaatkan kondisi asli tergantung pada pilihan paradigma atau kombinasi paradigma yang paling cocok di samping kualitas dan konsistensi penerapannya. Namun, proses penentuan kombinasi paradigma yang paling sesuai bukanlah perkara mudah mengingat tujuan yang akan di raih oleh masing-masing paradigma bisa saling bertolak belakang. Pertumbuhan ekonomi, misalnya, bisa dicapai dengan mengorbankan kelestarian lingkungan; keadilan sosial terealisir dengan menurunnya laju pertumbuhan ekonomi, dan sebagainya. Oleh karena itu, perumusan kebijakan pembangunan yang memasukkan pertimbangan yang seimbang atas nilai-nilai pembangunan yang tampaknya saling berseberangan merupakan tantangan besar bagi para pengambil kebijakan. Disamping itu para pakar dan perencana pembangunan agaknya memiliki banyak perbedaan pendapat tentang paradigma apa yang paling bagus dalam upaya pengentasan kemiskinan, distribusi pendapatan secara adil, dan keberlanjutan pertumbuhan ekonomi. 
Bagian berikutnya yang merupakan lanjutan tulisan ini akan membicarakan strategi pengentasan kemiskinan di Indonesia dalam kerangka kombinasi paradigma-paradigma pembangunan. Suatu analisis diakronik tentang strategi pengentasan kemiskinan atau membuktikan bahwa paradigma-paradigma yang digunakan sama sekali tidak bersifat statis. Berbagai variabel turut mempengaruhi pilihan paradigma-paradigma yang digunakan pada dimensi waktu tertentu dan pada tahap tertentu dalam pembangunan nasional kita selama ini.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.