Selasa, 30 Agustus 2011

PENDEKATAN PENELITIAN KUALITATIF DAN KUANTITATIF SUATU TINJAUAN KRITIS III (Andi Agustang)

C.   Konsep Dasar Penelitian Kualitatif

     Istilah penelitian kualitatif menurut Kirk dan Miller (1986;9) pada mulanya bersumber pada pengamatan kuantitatif yang dipertentangkan dengan pengamatan kualitatif. Pengamatan kuantitatif melibatkan pengukuran tingkat suatu ciri tertentu. Untuk menemukan sesuatu dalam pengamatan, pengamatan harus mengetahui apa yang menjadi ciri sesuatu itu, untuk mengamat mulai mencatat atau menghitung dari satu, dua, tiga, dan seterusnya. Berdasarkan pertimbangan demikian, kemudian peneliti menyatakan bahwa penelitian kuantitatif mencakup setiap jenis penilaian yang didasarkan atas perhitungan persentase, rata-rata, ci kuadrat, dan perhitungan statistik lainnya. Dengan kata lain, penelitian kuantitatif melibatkan dari pada “perhitungan” atau “angka” atau “kuantitas”.
     Di pihak lain “kualitas” menunjuk pada segi “alamiah” yang dipertentangkan dengan “kuantum” atau “jumlah” tersebut atas dasar pertimbangan itulah maka kemudian penelitian kualitatif tampaknya diartikan  sebagai penelitian yang tidak mengadakan perhitungan (Moleong, 2000 ; 2).
      Ada beberapa istilah yang digunakan untuk penelitian kualitatif, menurut Bogdan dan Biklen (1982:3), yaitu, penelitian atau inkuiri naturalistik atau alamiah, Etnografi, Interaksionis simbolik, Perspektif kedalam, Etnometologi, “the Chicago School”, fenomenologis, studi kasus, interpretatif, ekologis, dan deskriptif.
      Menurut Prof. Judistira (1999; 32-33), pendekatan kualitatif dicirikan oleh tujuan yang berupaya untuk memahami gejala-gejala yang sedemikian rupa tak memerlukan kuantifikasi, atau karena gejala-gejala tersebut tak memungkinkan diukur secara tepat. Dalam penelitian antropologi dan sosiolologi, sifat dan tujuan penelitian itu sendiri dapat menentukan pendekatan apa yang akan digunakan; apakah untuk memahami peristiwa atau gejala sosial manusia itu perlu kuantifikasi karena perubahan sosial akan meliputi ruang dan waktu aktifitas para pelaku sosial. Gejala-gejala sosial seperti itu tak selalu menampakkan sesuatu yang dapat diukur secara tepat, apalagi jika tolok ukurnya tidak berurat akar dalam kehidupan masyarakat yang dikaji. Pada hakekatnya pendekatan kualitatif akan mengawali ke dua pendekatan penelitian, kualitatif itu sendiri dan kuantitatif, artinya uraian dengan kata-kata dalam tatanan kalimat yang mengungkapkan premis, hipotesis, dan latar belakang pemikiran suatu penelitian misalnya. Demikian pula halnya cara pengukuran dan pengujian, hasil uji hipotesis, analisis data  dan tabel atau skema, serta data statistika lainnya selalu perlu diuraikan dengan jelas melalui uraian kata-kata.
       Selanjutnya Prof. Judistira  (1999;59-60) menjelaskan bahwa penelitian kualitatif berakar dari data, dan teori berkaitan dengan pendekatan tersebut diartikan sebagai aturan dan kaidah untuk menjelaskan proposisi atau perangkat proposisi dapat diformalisasikan secara deskriptif ataupun secara proporsional. Dua kepentingan akan terpenuhi, yaitu teori substantif disusun bagi keperluan empirik, dan teori formal bagi keperluan pengembangan. Penyususnan teori itu dilakukan melalui upaya kategorisasi dan relasi logik antara unsur-unsur dalam membina integrasi yang berlaku; analisis banding dapat dilakukan antara unsur satu dengan unsur lainnya, dan teori formal selain menguji teori formal lainnya, juga untuk analisis hasil penelitian. 
     Kualitas atau sifat yang kualitatif itu mengacu pada segi empirik, yaitu kehidupan nyata manusia, termasuk segala apa yang berada di belakang pola sikap dan tindakannya sebagai manusia bio-sosial. Jika mengingat obyek kajian dalam ilmu sosial, terutama sosiologi dan antropologi, maka perhatian manusia juga adalah sasaran pendekatan kualitatif.
    Metodologi penelitian ini diperkembangkan oleh banyak ahli dari berbagai pendekatan disiplin ilmu. Interpretif dikembangkan oleh Geertz, Grounded research lebih berkembang di lingkungan sosiologi, dengan tokoh utamanya Strauss dan Glasser. Ethnometodologi lebih berkembang di lingkungan antropologi yang ditunjang antara lain oleh Bogdan, yang ahli sosiologi pendidikan. Interaksi simbolik yang lebih berpengaruh di pantai Barat Amerika Serikat diperkembangkan oleh Blumer, ahli psikologi sosial. Paradigma naturalistik diperkembangkan terutama oleh Guba yang semula memperoleh pendidikan dalam fisika, matematika, dan penelitian kuantitatif. Studi mendalam keterhubungan antara metodologi penelitian tersebut dengan fenomenologi dilakukan oleh Kenneth Leiter (Noeng Muhadjir, 200 ; 18).   
     Ontologik, metodologi penelitian kualitatif berlandaskan fenomenologi sama dengan yang berlandaskan rasionalisme, dan berbeda dengan berlandaskan positivisme. Metodologi penelitian kualitatif berlandaskan fenomenologi menuntut pendekatan holistik, mendudukkan obyek penelitian dalam suatu konteks natural, bukan parsial. Beda dengan positivisme yang menuntut rumusan obyek sespesifik mungkin, tetapi dekat dengan rasionalisme yang menuntut konsturksi teoritik yang lebih mencakup.
     Epistemologik, metodologi penelitian kualitatif berlandaskan fenomenologi sangat jauh berbeda dengan berlandaskan positivisme; positivisme menuntut penyusunan kerangka teori (meskipun spesifik), sedangkan fenomenologi malahan sepenuhnya menolak penggunaan kerangka teori sebagai langkah persiapan penelitian. Membuat persiapan seperti itu menjadikan hasil penelitian itu menjadi produk artifisial, jauh dari sifat naturalnya. Dalam hal melihat kejadian dan tata pikir yang digunakan fenomenologi sejalan dengan rasionalisme, yaitu : melihat obyek dalam konteksnya dan menggunakan tata pikir logik lebih dari sekedar linier kausal, tetapi tujuan penelitiannnya berbeda, fenomenologik membangun ilmu idiographfik, sedangkan rasionalismer membangun ilmu nomothetik.
     Aksiologik, ada kesamaan antara yang fenomenologik dengan rasionalistik, yakni keduanya mengakui kebenaran etik, ada value bound menurut istilah Egon G. Guba. Dalam metodologi penelitian kualitatif berlandaskan rasionalisme telah disebut tiga strata empiri, yaitu ; empiri sensual, empiri logik, dan empiri etik. Aksiologik, fenomenologi Edmund Husserl mengenal pula empiri transendental. Karena itu metodologi penelitian kualitatif yang berlandaskan  fenomenologi mengakui empat kebenaran empirik tersebut. Kemampuan penghayatan dan pemaknaan manusia atas indikasi empiri manusia menjadi mampu mengenal keempat kebenaran tersebut di atas.
     Epistimologik, fenomenologi menuntut bersatunya subyek peneliti dengan subyek pendukung obyek peneliti. Keterlibatan subyek peneliti di lapangan, menghayatinya menjadi salah satu ciri utama penelitian fenomenologik. Berbeda dengan dua penelitian kualitatif lainnya – yang berlandaskan positivisme dan rasionalisme yang menuntut pilahnya subyek peneliti dengan obyeknya –  (Noeng Muhadjir, 2000 ; 19). 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.