Selasa, 30 Agustus 2011

PENDEKATAN PENELITIAN KUALITATIF DAN KUANTITATIF SUATU TINJAUAN KRITIS V (Andi Agustang)

 E. Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif  : Suatu Analisis

Pendekatan kualitatif dicirikan oleh tujuan penelitian yang berupaya memahami gejala-gejala yang tak mungkin dikuantifikasikan, atau karena gejala-gejala tersebut tak memungkinkan diukur secara tepat. Pendekatan kualitatif termasuk dalam naturalistic inquiry, yang memerlukan manusia sebagai instrumen karena penelitiannya yang sarat oleh muatan naturalistik, seperti yang dikemukan oleh Yvonne “Naturalitic inquire is always carried out, logically enough, in a natural setting, since contex is so heavily implicated in meaning.”  Instrumen penelitian ialah manusia itu sendiri, artinya penelitian yang terlebih dahulu perlu sepenuhnya memahami dan bersifat adaptif terhadap situasi sosial yang dihadapi dalam kegiatan penelitiannya itu. Ia terbina oleh pengalamannya dalam menggunakan metode yang cocok untuk meneliti subyeknya melalui wawancara, observasi, observasi partisipasi, analisa dokumen dan kepustakaan, analisa dokumentasi nyata, dan teknik penelitian lainnya.
Bagi ilmuwan sosial dan kemanusiaan, statistika dianggap sebagai bagian dari teknik penelitian (bukan bagian penelitian itu sendiri). Jadi statistika bukanlah satu-satunya teknik penelitian yang dapat membantu mengungkapkan informasi dalam memperoleh hasil penelitian yang valid. Apabila statistik itu merupakan teknik penelitian maka penggunaannya tidaklah akan mengurangi kualitas kebenaran yang hendak dicapai oleh hasil penelitian tersebut.
Menurut Prof. Judistira (1999 ; 34) Hakekat yang kualitatif itu sebenarnya tidaklah perlu dipertentangkan dengan kuantum atau kuantitatif, yang justru karena anggapan seperti  itu akan menjadi kendala bagi saling pinjam teknik antar disiplin dalam ilmu sosial, malahan memberi peluang pada pencuatan yang satu dari yang lainnya dalam lingkup yang terunggul. Karena itu adalah naif manakala mengemukakan tentang keunggulan yang didasarkan pada penonjolan angka-angka, tanpa memperhatikan jenis, bentuk, atau hakekat penelitian atau yang lebih jauh lagi yaitu manfaat bagi hakekat kemanusiaan.
Sebagian besar uraian metodologis tampaknya sepakat bahwa sepanjang dua paradigma yang berbeda dianggap ada, perbedaan yang terpenting adalah cara masing-masing memperlakukan data. Menurut teori, jika tidak dalam praktek juga, peneliti kuantitatif menyisihkan dan menentukan ubahan-ubahan (variabel) dan kategori-kategori ubahan. Ubahan-ubahan ini secara bersama-sama terkait dengan bingkai hipotesis yang seringkali ada sebelum data dikumpulkan dan kemudian diujikan terhadap data. Sebaliknya peneliti kualitatif mulai dengan mendefinisikan konsep-konsep yang sangat umum, yang karena kemajuan-kemajuan penelitian mengubah definisi mereka.
Perbedaan-perbedaan yang dirasakan oleh para peneliti antara pendekatan kualitatif dan pendekatan kuantitatif (apakah perbedaan ini logis atau tidak) berpengaruh amat besar pada fokus dan pelaksanaan proyek-proyek penelitian khususnya pemilihan metode. Banyak peneliti tidak menganggap metode-metode yang berbeda sebagai pelengkap bagi metode yang lain karena mereka menganut perspektif teoritis yang sangat berbeda dan konseptualisasi yang juga berbeda tentang masalah yang diteliti di mana realitias-realitas atau aspek-aspek realitas yang berbeda diamati dan ditangkap.
Penelitian kuantitatif terkait secara khas dengan proses induksi enumeratif (induksi yang ditarik atas dasar perhitungan). Salah satu tujuan utamanya adalah menemukan berapa banyak dan jenis manusia apa saja dalam populasi umum dan populasi induk yang mempunyai karakteristik khusus yang ditemukan ada dalam populasi sampel. Di dalam penelitian kualitatif konsep dan kategorilah, bukan kejadian atau frekuensinya yang dipersoalkan. Dengan kata lain, penelitian kualitatif tidak meneliti suatu lahan kosong tetapi menggalinya.
Post-positivisme fenomenologi-interpretif berupaya mengatasi kelemahan positivisme terutama dalam tiga hal, yaitu ; pertama, menghindari pemaknaan atas kerangka pikir peneliti dan menjamin munculnya pemaknaan dari subyek atau masyarakat yang diteliti itu sendiri. Kedua, mengubah pendekatan spesifik parsial dalam wujud meneliti/menguji relevansi antarvariabel, menjadi pendekatan holistik dalam wujud meneliti obyek dalam keseluruhannya yang utuh. Ketiga, fenomenologi-interpretif menuntut menyatunya subyek penelitian dengan obyek penelitian dan subyek pendukungnya. Karena itu keterlibatan langsung menjadi syarat utama penelitian post-positivisme fenomenologik-interpretif.    
Objek, orang, situasi, dan peristiwa tidak memiliki makna, tetapi diberi makna. Pemberian makna terjadi dalam interaksi sosial. Makna adalah hasil negosiasi. Tugas peneliti, karenanya, bukan memaksakan makna pada subjek, tetapi bersama mereka, peneliti mengkonstruksi realitas. Penelitian adalah upaya untuk menemukan “What they are experiencing, how they interpret their experiences, and how they themselves structure the social world in which they life  inilah paradigma pendekatan kualitatif. Kita bisa mengikhtisarkan kritik dari paradigma post-positivisme terhadap positivisme (Julia Brennen, 1997) sebagai berikut  :
Pertama, realitas hasil konstruksi (constructed reality). Dalam kehidupan sosial, tidak ada realitas tunggal. Yang ada adalah realitas banyak (multiple reality). Setiap aktor atau pengamat membentuk realitasnya sendiri. Ketika peneliti menyusun angket, ia sedang membuat peta realitas menurut pikirannya.
Kedua, pengamat partisipan (partisipant observer). Positivisme (kuantitatif) mempunyai asumsi epistemologi yang memungkinkan terpisahnya pengamatan dari yang diamati – the knower from the known. Ilmuwan adalah pengamat yang obyektif, independen, dan tidak berinteraksi dengan obyek. Bila kemudian ada interaksi, menurut positivisme, peneliti harus berusaha menyingkirkannya dengan intervensi metodologis. Padahal apa yang disebut “pengamat yang independen dari obyek yang diamatinya” sangat sukar dipertahankan dalam penelitian sosial (bahkan dalam ilmu alamiah sekalipun). Banyak hal membuktikan adanya interaksi antara the knower dan the known, teori dan  fakta tidak pernah terpisah, manusia hanya dapat diteliti dengan pengertian dan kerjasama orang yang diteliti, manusia tidak bisa tidak selalu reaktif pada manusia lainnya.
Ketiga, generalisasi. Tidak ada generalisasi. Positivisme (kuantitatif) mengasumsikan keterlepasan observasi dan faktor waktu dan konteks, apa yang benar pada suatu waktu dan tempat, juga benar pada waktu dan tempat yang lain. Hasil dari sampel dapat dijadikan estimasi dari seluruh populasi. Generalisasi klasik demikian mengandung banyak kelemahan, karena tergantung pada determinisme, bergantung pada logika induktif, bergantung pada asumsi bebas dari waktu dan konteks, terjerat dalam dilema nomothetik-ideographik, terjerat dalam kekeliruan reduksionis.    
Keempat, kausalitas banyak (multiple causality). Positivisme beranggpan bahwa tujuan ilmu adalah menemukan hubngan sebab akibat. Secara falsafi, ilmu bertujuan merumuskan pernyataan-pernyataan nomothetik : y = f (x). Akhirnya, bila kita mengetahui  x penyebab y kita bukan saja dapat meramalkan y, dengan pengetahuan kita tentang x, tetapi juga dapat mengendalikan y. Karena kausalitas menjadi pusat perhatian alam dan menjadi deterministik. Principle of Uncertainty dan  mekanika quantum telah meragukan asas kausalitas linier tersebut. Penemuan terkahir dalam berbagai bidang menunjukkan berbagai sebab dan bukan sebab tunggal-berinteraksi sesama mereka dalam menimbulkan akibat. Inilah kritik eksternal dari konsep kausalitas. Kritik internal menyatakan bahwa konsep kausalitas itu sndiri mengandung banyak kemusykilan sehingga sukar dipertahankan; apalagi bila konsep itu diterapkan pada perilaku sosial manusia, dan akhirnya, tidak mungkin melepaskan konsep kausalitas dari pengaruh pengalaman, penilaian, dan wawasan manusiawi.
Kelima, sarat nilai. Positivisme didasarkan pada  asumsi aksiologis bahwa dengan metodologi ilmiah, penelitian tidak dipengaruhi oleh sistem nilai. Asumsi ini erat kaitannya dengan asumsi kedua. Karena peneliti terpisah dari obyek yang diteliti, nilai-nilai yang dianut peneliti tidak akan mempengaruhi sifat-sifat obyek yang diteliti. Ilmu, karena itu bersifat netral etis. Science is netral between ends. Asumsi penelitian yang ‘bebas nilai’ telah banyak dikritik para filsuf. Untuk ilmu sosial, kita dapat menyebut antara lain Bahn (1970), Homans (1978). Morgan dan Smirchich (1980). Nilai menentukan apa yang harus diteliti, bagaimana menelitinya, dan bagaimana menafsirkannya. Sejarah sains dipenuhi contoh-contoh betapa nilai dipengaruhi penelitian. Anggapan bebas nilai hanya dapat dipertahankan dalam asumsi keterpisahan fakta dan teori, peneliti dari yang diteliti, dunia fakta dan dunia nilai. Epistemologi modern menunjukkan bahwa fakta selalu “Theory laden”. Jika teori ditentukan nilai dan fakta ‘theory laden’, maka fakta ditentukan oleh nilai.
          Keterbatasan penelitian kuantitaif yang memisahkan subyek dari habitat alamiahnya, dari natural setting-nya sehingga eksperimen – sebagai tonggak kuantitatif – menghasilkan situasi yang tidak lazim, buatan, berusia pendek, dan sukar digeneralisasi. Padahal manusia bukan saja sangat reaktif atau responsif, tetapi juga selalu mengkonstruksi realitas di sekitarnya. Kaum fenomenologis, misalnya, berusaha memasuki dunia konseptual subyek, untuk mengetahui bagaimana orang mengkonstruksi makna terhadap peristiwa-peristiwa kehidupan mereka. Fenomenologi percaya bahwa realitas adalah “socially constructed”. Dengan demikian, melakukan penelitian kualitatif berarti melanjutkan tradisi “verstehen” dari Max Weber; “phenomenological inquiry begins with silence”. ‘Diam’ berarti upaya memahami keadaan apa yang kita pelajari. Untuk lebih jelas, bisa dilihat dari peta arus kegiatan penelitian ‘naturalistic inquiry’, dan ‘box’ kerangka laporan penelitian.





 










Bagan 3.1. : Arus Penelitian Naturalistik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.