Rabu, 31 Agustus 2011

Tentang Konsep Pembangunan 2


Studi Politik Ekonomi
Dalam Permulaan Wacana Development

Oleh: Andi Agustang[1]

Pendahuluan
Gagasan Devlopment pada awalnya adalah merupakan suatu fenomena luar biasa, dimana sebuah gagasan begitu mendominasi dan mempengaruhi pikiran bangsa - bangsa Dunia Ketiga, bahkan secara global. Gagasan 'development' nyaris menjadi 'agama baru'. Development menjanjikan harapan baru untuk memecahkan masalah masalah kemiskinan dan keterbelakangan bagi berjuta juta rakyat di Dunia Ketiga. Istilah 'development' tersebut, kini telah menyebar dan dipergunakan sebagai visi, teori dan proses yang diyakini oleh rakyat dihampir semua negara, khususnya dunia ketiga, dengan diterjemahkan kedalam bahasa dengan menggunakan kata yang sesuai dengan bahasa lokal dimasing masing negara. Dinegara negara Amerika Latin misalnya, kata ini disamakan dengan kata 'dessarollo'. Bahkan di negara yang belum memiliki bahasa nasional seperti di Filipina misalnya, kata yang dipergunakan untuk melokalkan 'development' adalah dalam tiga bahasa daerah utama, yakni 'pang-unlad' untuk bahasa Tagalok, sedang dalam bahasa Ilongo adalah 'pag-uswag', dan dalam bahasa Ilocano menjadi 'progreso'. Di Indenesia, kata 'development' diterjemahkan dengan 'pembangunan'.
Kata 'pembangunan' menjadi wacana yang dominan di Indonesia erat kaitannya dengan munculnya “pemerintahan orde baru”. Selain sebagai semboyan mereka, kata 'pembangunan' juga menjadi nama bagi pemerintahan orde baru, hal itu bisa dilihat bahwa nama kabinet sejak pemerintahan Orde Baru, selalu dikaitkan dengan kata 'pembangunan', meskipun kata 'pembangunan' sesungguhnya telah dikenal dan dipergunakan sejak masa orde lama. Kata pembangunan dalam konteks orde baru, sangat erat kaitannya dengan 'wacana development' yang dikembangkan oleh negara negara Barat.
Uraian berikut mencoba melakukan penyelidikan secara kritis terhadap konsep  'development', yang menjadi sumber dari pemikiran 'pembangunan' di Indoneisa. Oleh karena itu perhatian uraian ini tidaklah mengusahakan tinjauan dari segi bahasa, melainkan mencoba menstudi politik ekonomi dalam permulaan wacana development, dan bagaimana development disebar-serapkan kedunia ketiga, serta hubungannya dengan wacana 'pembangunan' di Indonesia sejak pemerintahan militer Orde baru.
 Tentang Konsep Pembangunan
 Jika dilihat dari pengertian dasarnya, tidak ada suatu konsep dalam ilmu ilmu sosial yang serumit dan tidak jelas seperti kata tersebut. Istilah 'pembangunan' dipakai dalam bermacam macam kontek, dan seringkali dipergunakan dalam konotasi pilitik dan ideologi tertentu.  Ada banyak kata yang mempunyai makna dengan kata pembangunan, seperti misalnya perubahan sosial, pertumbuhan, kemajuan, modernisasi. Dari kata kata tersebut hanya istilah perubahan sosial yang memberi makna perubahan kerah lebih positif. Oleh karena makna pembangunan bergantung pada kontek siapa yang menggunakannya dan untuk kepentingan apa, maka uraian mengenai pengertian pembangunan akan dilihat dari kontek sejarah bagaimana istilah tersebut dikembangkan.
Jika dilihat dari konteks sejarahnya mengapa dan bagaimana developmentalisme diciptakan, jelas bahwa gagasan tersebut justru dikembangkan dalam rangka membendung pengaruh dan semangat anti Kapitalisme bagi berjuta juta rakyat di Dunia Ketiga. Gagasan development dimulai tahun 1940an, khususnya pada tanggal 20 Januari 1949, yakni pada saat President Amerika Harry S.Truman mengumumkan kebijakan pemerintahnya, maka istilah development dan  "underdevelopment" resmi menjadi bahasa dan doktrim kebijakan luar negeri Amerika Serikat.  Selain lebih dimaksud untuk memberi jawaban atas penolakan bangsa Dunia Ketiga yang baru merdeka atas kapitalisme, juga sebagai jawaban ideologi terhadap meningkatnya daya tarik rakyat Dunia Ketiga terhadap keberhasilan Uni Sovyet sebagai kekuatan baru. Oleh karena itu jelas bahwa gagasan development mulanya dilontarkan dalam kerangka 'perang dingin' yakni suatu kebijakan untuk membendung Sosialisme di Dunia Ketiga. Tidaklah mengherankan jika banyak para penganalisa menempatkan bahwa gagasan development pada dasarnya adalah merupakan bungkus baru dari kapitalisme.[2]
Penyebaran Pikiran Development Pada Dunia Ketiga
 Bagaimana pikiran development (Kapitalisme) tersebut disebar luaskan kedunia ketiga?.  Para pakar ilmu ilmu sosial pada tahun 1950 an dan 1960 an, memainkan peran diskursive yang penting.  Mereka yang berafiliasi pada the Center for International Studies di Massachusetts Institute of Technology (MIT) pada saat itu membantu membangun akademik wacana tentang development.[3]  Dalam tahun 1968, para pakar ilmu ilmu sosial Amerika menjadi terlibat secara mendalam dalam mempengaruhi kebijakan Amerika untuk globalisasi wacana tentang development dan modernisasi.  Para pakar ilmu- ilmu sosial yang diminta oleh pemerintah Truman untuk mengembangkan  suatu "Conference on the implementation of Title IX of the Foreign Assistance Act of 1961." dimana tugas utama mereka melakukan studi tentang bagaimana kebijakan untuk melahirkan the Foreign Assistance Act of 1966, dimana dominasi interpetasi ilmuan liberal terhadap konsep Development. (Millikan and Pye: 1968 dan Gendzier,I. 1985: p.69-74)). Itulah masa dimana mereka sangat produktif dalam menciptakan pengetahuan dan teori development dan modernisasi. Ekonom seperti Rostow menemukan "Growth theory."nya, dan waktu itu pula McClelland dan Inkeles menemukan teori Modernisasi mereka. Salah satu hasil penting studi mereka adalah bahwa gagasan developnment dan modernisasi harus menjadi pilar utama bagi kebijaksanaan program bantuan dan politik luar negeri Amerika.[4] 
Meskipun teori modernisasi bermacam macam, namun mereka meyakini satu hal yang sama yakni bahwa faktor manusia (bukan struktur dan sistem) menjadi fokus utama perhatian mereka. Pertama, yang menggunakan metafora pertumbuhan yakni tumbuh sebagai organisme. Mereka melihat development sebagai proses evolusi perjalanan dari traditional ke modern. Pikiran ini dapat dijumpai dalam teori pertumbuhan yang sangat terkenal yakni "the five-stage scheme"  yang dikembangkan oleh W.W. Rostow (1960). Asumsinya adalah bahwa semua masyarakat termasuk masayarakat Barat pernah mengalami 'tradisional' dan akhirnya menjadi "modern."  Sikap manusia tradisional disini dianggap sebagai masalah. Seperti pandangan Rostow dan pengikutnya, development akan berjalan secara hampir otomatis melalui akumulasi modal (tabungan dan investasi) dengan tekanan bantuan dan hutang luar negeri.  Dia memfokuskan pada perlunya elite wiraswasta yang menjadi motor proses itu.
Pandangan lain didasarkan studi McClelland, Inkeles and Smith (1961). Berdasar tafsiran McClelland atas Max Weber, jika Etika Protestant menjadi pendorong pertumbuhan di Barat, analog yang sama juga bisa untuk melihat pertumbuhan ekonomi. Apa rahasia pikiran Weber tentang Etika Protestant menurutnya adalah "the need for achievement" (N Ach). Alasan mengapa rakyat Dunia Ketiga terbelakang menurutnya karena rendahnya "Need for Achievement" tersebut. Sekali lagi disini sikap dan budaya manusia yang dianggap sebagai sumber masalah. Dan prototipe dari 'the achieving society' pada dasarnya adalah masyarakat kapitalis.[5] 
Konsep development dan modernisasi yang kemudian serta merta dianut oleh berjuta juta rakyat di Dunia Ketiga tersebut pada dasarnya merupakan refleksi dari paradigma Barat tentang perubahan sosial. Development, diidentikan dengan seperti gerakan langkah demi langkah menuju 'higher modernity.' Yang dimaksud modernitas disini merefleksi pada bentuk perkembangan dan kemajuan teknologi dan ekonomi seperti yang dialami oleh negara negara industri. Konsep ini mempunyai akar sejarah dan intektualitas perubahan sosial yang diasosiasikan dengan revolusi industri di Eropa.  Interpretasi konsep development disebagian besar Dunia Ketiga dipahami melulu sebagai 'general improvement in the standard of living'.
Sebentar saja, gagasan Development dan modernisasi menjadi program massif.  Selain menjadi doktrin politik bantuan luar negeri Amerika baik pada pemerintah Dunia Ketiga maupun LSM, juga serempak hampir di setiap universitas di Barat membuka suatu kajian baru yang dikenal dengan 'Development Studies'.  Melalui Development Studies di Barat ini, proses penyebar serapan kapitalisme dipenjuru dunia dipercepat, yakni melalui teknokrat, intektual dan bahkan aktivist LSM dari Dunia Ketiga yang menjadi pasar utama program studi tersebut. Escobar (1990) menggambarkan proses ekspansi wacana development melalui penciptaan network kelembagaan (seperti lembaga dana internasional, universitas, lembaga riset, badan perencana pembangunan) demi memfungsikan aparat developmentalisme. Dan begitu terkonsolidasi mereka menentukan apa yang harus dibicarakan, dipikirkan, diidamkan, pendek kata semua diarahkan menuju kearah gagasan developmentalisme dan modernisasi. 
Tidak hanya itu, bahkan team ahli ilmu ilmu sosial tersebut mengajukan proposal untuk menggunakan berbagai cara untuk mendeseminasikan ideologi 'development' dan modernisasi tersebut dengan target khusus bangsa dunia Ketiga. Pertama, saran mereka, untuk menggunakan pengaruh Amerika Kebijakan Ekonomi dan Perencanaan.  Mereka tahu bahwa bahwa bantuan Amerika selama ini sangat effective dalam mempengaruhi kebijakan dan perencanaan ekonomi. Kedua, untuk mendidik pemimpin dunia ketiga, baik dalam bentuk training, maupun  perjalanan observasi ke Amerika Serikat. Strategi ini konon diusulkan berdasar pengalaman peran pemimpin mahasiswa dalam menghancurkan pemerintahan nasionalis Indonesia tahun 1966 (Millikan and Pye :136).[6] Saran ketiga, adalah dengan menggunakan sarana agama. Banyak studi agama bahkan mulaui diarahkan pada peran agama dalam development, sehingga perlunya 'sekularisasi' menjadi bahasa resmi pemimpin agama dunia ketiga. Sedangkan yang terakhir, adalah untuk menggunakan fungsi training dan research dari tenaga universitas Amerika yang bekerja diluar negeri atas biaya USAID. (Millikan and Pye,1968. p:165).
Pengetahuan akan Development yang diproduksi oleh negara Barat dan dikrimkan ke rakyat Dunia Ketiga bukanlah pengetahuan neutral, selain syarat dengan ideologi Barat juga terkandung nafsu untuk mengontrol. Melalui wacana development, dunia pertama menetapkan kontrol mereka pada dunia ketiga, dimana dunia ketiga  mula- mula diberi label 'kekurangan' tentang hal hal yang  dapat dipenuhi oleh technology dan keahlian profesional. Dan hubungan inilah menurut Mueler disebut sebagai hubungan imperialisme (Mueller, 1987). Escobar (1984) menggunakan analisa Foucault tentang wacana terhadap pembangunan.[7] Wacana development selanjutnya tidak memberi legitimasi segala bentuk cara dan pengetahuan 'non-positivistic' seperti cara pertanian tradisional digusur oleh green revolution serta menghancurkan segala bentuk sosial formasi yang non-capitalistik. Seperti tradisi "gotong Royong" di Jawa telah diganti oleh hubungan yang kapitalistik. Dan terkahir ide development menghancurkan segala bentuk proses politik dengan apa yang dikenal doktrin modernisasi politik. Itu semua  menujukkan bahwa wacana development merupakan suatu proses pendominasian secara intellektual, politik, ideologi, ekonomi dan budaya.   
Invasi kultural, politik, dan ekonomi development selain didukung pemerintah Amerika Serikat juga didukung oleh lembaga lembaga dana internasional seperti bank Dunia dan IMF.  Hayter (1985) mencatat adanya konsistensi secara ideologi dari Bank Dunia terhadap ideologi development. (Hayter,1985: 111). 'Development aid' sering dikembangkan dalam rangka menjaga status quo. Mereka mengikat negara berkembang pada ekonomi negara kaya. Bagian terbesar dari apa yang disebut aid biasanya digunakan oleh pemerintah Dunia Ketiga untuk melayani loans Bank Dunia. sebagian yang lain dijatahkan oleh pemberi bantuan dalam rangka melicinkan exports serta medukung kepentingan bisnis mereka sendiri yang mereka tanamkan di Dunia Ketiga (Kruijer,1987. p.116).
 Proses Berkembangnya Wacana Development di Indonesia

Demikian wacana development tersebut berkembang, dan dimasing masing negara berkembang wacana tersebut lebih dikembangkan secara mendalam lagi hingga sampai dipedesaan. Di Indonesia, ideologi developmentalisme yang kemudian diterjemahkan dalam pembangunan tersebut dikembangkan melalui mekanisme kontrol ideologi, sosial dan politik yang canggih. Untuk melindungi ideologi pembangunan tersebut, pemerintah menegakkan berbagai pendekatan seperti: pertama, menegakan 'the floating mass policy', yakni suatu kebijakan yang melarang semua organisasi masa pada tingkat desa. kedua, menggeser sistim pemilihan lurah yang dilakukan secara demokratis, dan menggantikannya dengan penempatan seorang militer sebagai kepala desa. Ketiga, memperkokoh organisasi militer sampai tingkat kecamatan, dan menempatkan seorang militer untuk setiap desa (Babinsa). Keempat, menciptakan KUD sebagai satu satunya Koperasi yang diizinkan opersai ditingkat kecamatan, serta terkahir menciptakan pertauran pemerintah desa sejak tahun 1979, untuk menggantikan tradisi 'rembuk desa' dengan lembaga desa yang dikontrol oleh pemerintah (Sasono,1987).
Pembangunan juga dikembangkan melalui pendidikan, baik formal, mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi, maupun non formal seperti dalam kursus- kursus, seminar dan penataran hingga ke khutbah dan pengajian di majlis taklim dan masjid masjid. Program pembangunan dikembangkan dan diselenggarakan baik melalui organisasi besar dalam departemen pemerintah dengan skala besar dan nasional, sampai ditingkat pedesaan yang didukung oleh banyak Lembaga Swadaya Masyarakat dengan skala kecil tingkat lokal. Sehingga bagi rakyat Indonesia, gagasan pembangunan telah diterima tanpa pertanyaan.  Umumnya perdebatan hanya dilakukan dalam tingkat cara, metodologi serta teknik pelaksananya belaka, dan bukan pada level prinsipnya.  Itulah mengapa bisa disimpulkan bahwa 'developmentalisme' dewasa ini sudah diyakini oleh sebagain besar birokrat pemerintahan, akademisi, dan bahkan aktivis LSM di Indonesia sebagai satu satunya jalan menuju masyarakat sejahtera.
Persoalan Mendasar sebagai Penutup
Lantas persoalannya apa?  Letak masalahnya adalah, apakah  ideologi dan teori Development dan modernisasi yang kini menjadi the mainstream teori dan praktek perubahan sosial itu, sejak dalam gagasan dan konsepsi dasarnya terkandung gagasan akan terciptanya dunia yang secara mendasar lebih baik dan lebih adil? Apakah gagasan development' yang diciptakan sebagai bungkus baru dari kapitalisme yang diniatkan dalam rangka membendung pengaruh sosialisme itu mampu menghancurkan struktur ekonomi yang eksploitatif; menyingkirkan proses budaya dan pengetahuan yang dominatif, melenyapkan sistim politik yang represif, melindungi lingkungan, serta melenyapkan dominasi terhadap perempuan, sejak dari konsep dasarnya? Inilah persoalan mendasar kita semua. Karena justru untuk menganalisis dan mengevaluasi sebuah teori kita memerlukan kacamata, dan berbeda kaca mata akan menghasilkan penilaian yang berbeda pula. Kacamata-kacamata yang dipakai untuk melihat dan menganalisa perubahan sosial inilah yang sering disebut paradigma perubahan sosial.


[1] Dosen tetap pada Program Studi Sosiologi FIS UNM Makassar. Ketua Program studi IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial) pada Pascasarjana UNM Makassar. Pengampu matakuliah Teori Perubahan Sosial dan Pembangunan pada program studi Sosiologi S1 FIS, S2 dan S3 Program Pasca Sarjana di UNM makassar. Pendiri dan Ketua Kelompok studi Salangketo Gunungsarian Makassar.
 [2] Gendzier, Irene. Managing Political Change: Social Scientists and the Third World Boulder. Colorado: Westview Press. 1985. Juga Douglas Lummis,” Development Against Democracy" dalam Jurnal Alternatives Vol.16,no.1.1991.
[3] Gendzier, Irene. ibid (1985)
 [4] Walt Whitman Rostow adalah bekas Professor MIT, yang pindah ke Gedung Putih menjadi penasehat Presiden Johnson. Lihat, Gettleman,M.E. and D. Mermelstain. The Great Society Reader. The Failure of American Liberalism. New York: Vintage Book.1967. Uraiannya tentang  Growth Theory, lihat: Rostow, W.S. The Stages of Economic Growth: A Non-Communist Manifesto. New York: Cambridge University Press, 1960. Sedangkan uraian Modernisasi lihat: Inkeles, Charles and Smith, David. Becoming Modern. Massachusetts: Harvard University Press, 1974. Mc Clelland, David.C. The Achieving Society. New York: D.Van Nostrad. 1961.
[5]  Asumsi yang sama juga dianut oleh banyak penganut modernisasi seperti dalam antropologi di Indonesia pikiran Kuncoroningrat, juga dalan paham modernisasi Islam di Indonesia.  Keterbelakangan umat Islam, menurut hemat mereka adalah akibat dari 'ada yang salah dalam teologi yang dianut umat Islam. Mereka menuduh teologi tradisional yang fatalistik, sebagai penyebab masalah. Asumsi itu dianut oleh kaum modernist sejak Muhammad Abduh atau Jamaluddin Afgani sampai kelompok pembaharu saat ini seperti Gerakan Muhammadiayah dan Nurcholish Madjid c.s. Lihat: Dr. Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Jakarta; Bulan Bintang, 1978. serta majalah Ulumul Kuran tahun 1993.
[6] The role of US universities and Indonesian technocrats in in the process economic, political and ideological change and Development in Indonesia in the 1960s had been explored by several researchers. See David Ransom "The Berkeley Mafia" in Ramparts, No.9, (1970).  See Mortimer, Rex.(ed.). Showcase State; TheIllusion of Indonesia's 'Accelerated Modernization' Sydney: Angus and Robertson. 1973. See also Liddle, William. "Modernizing Indonesian Politics" in William Liddle (ed.). Political Participation in Modern Indonesia. Monograph Series No.19. New Heaven: Yale University Souteast Asian Studies. 1973.
[7] Michel Foucault, apa akhir tahun 1960 dan awal 1970 an memnyumbangkan gagasan kritik dalam pikiran bagaimana makna dikonstruksi. Baginya 'knowledge is not something that can exist apart from power relations'. Karyanya dalam wacanas mempunyai implikasi radikal tidak saja pada sisplin ilmu humaniora, seni dan sastra tapi human semua pengetahuan. Escobar (1978) meminjam analisanya untuk menganalisa hubungan dunia pertama dan ketiga melalui development.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.